Showing posts with label lubuk linggau. Show all posts
Showing posts with label lubuk linggau. Show all posts

Wednesday, December 1, 2010

Tari sambut Silampari kayangan tinggi - Welcoming dance of the lost fairy (princess) from heaven

Posted by Yayux at 7:03 PM 0 comments
Tari Sambut Silampari Kayangan Tinggi
Welcoming dance of the lost fairy (princess) from heaven

From Rejang sindang Merdiko I wanna introduce you the rhythm of welcoming dance of the lost fairy from heaven. This is tobe the official welcoming dance from Lubuk Linggau Regency, in Rejang Land, Southern Sumatra recently.

Singer by Ristin Noli



Syair Lagu Tari Sambut Silampari Kayangan Tinggi


Silampari khayangan tinggi,, Silampari khayangan tinggi
Name tu sebab,, Name tu sebab
La panjang seribu panjang
Name tu sebab,, Name tu sebab
La panjang seribu panjang
Yae la yang di sayang
slamat datang kami ucapkan
slamat datang kami ucapkan
Para hadirin para hadirin ya sayang di lubuklinggau
para hadirin bapak dan ibu ya sayang di lubuklinggau
Yae la yang di sayang
Nak memacong salak serompon
Nak memacong salak serompon
Depat di jolok, Depat di jolok
Lah denganlah same bilah
Depat di jolok, Depat di jolok
Lah denganlah same bilah
Yae la yang di sayang
Seribu salah ku mitek ampun
Seribu salah ku mitek ampun
Jerai sepoloh, Jerai sepoloh
Lah sembah menateng sembah
Jerai sepoloh, Jerai sepoloh
Lah sembah menateng sembah


Welcoming dance of the lost fairy (princess) from heaven


The word “Silam” means lost; “pari” means fairy / beautiful princess. This dance developed in the era of the 50’s; when the community will hold a commemoration / the kampong elders who have supernatural powers to summon fairies from heaven to earth come down to entertain the community at the commemoration event. After finishing dancing, fairies are back to heaven itself. This dance is used as welcome dance for great guests coming to Lubuklinggau.



Tari Sambut Silampari Kayangan Tinggi


Silam berarti hilang, pari berarti peri/putri yang cantik. Tarian ini berkembang diera 50-an bilamana masyarakat akan mengadakan suatu hajatan/persedekahan, maka tetua-tetua kampong yang memiliki kekuatan supranatural akan memanggil peri dari kayangan turun kebumi menghibur masyarakat diacara hajatan tersebut. Setelah selesai menari peri-peri tersebut akan kembali ke kayangan dengan sendirinya. Tarian ini dijadikan sebagai tari penyambutan bagi tamu-tamu agung yang datang ke kota lubuklinggau.



Credit photo :
  • http://disbudpar.lubuklinggau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=158:tskkt&catid=54:stk&Itemid=151
  • http://img267.imageshack.us/i/pic3296.jpg/
File mp3 and lyric syair contribution from :
EDO DAVINCI ZAKTI (FDR-246)Public Relations
PT.RADIO SWARAUNIB
Radio 99.2 SwaraUnib Fm Bengkulu


Sunday, November 28, 2010

Dehe Lubuk Linggau - Lubuk Lingggau`s Lady

Posted by Yayux at 9:12 PM 0 comments
Rejang Lembak Sindang Merdiko Folk Song


Mp3 online



Video folk song online



Dehe Linggau

Singer by Sulpa`i
Creator by Azman Bainuri

bebeju kurung panjang
bekaen lasem bahe lindang rebang
bekalung panjang hain anggon
beranting buah sarangan

rambut di hanggul malang
bunge cempako di sunting kidau kanan
sambil melenggang
lemah gemulai meliuk nari senjang

ulas alap laku padek sopan pule
menarik pacak
men lum tau tulah dehe lubuk linggau


ulas bege betanak pacak ramah nian
berejung lihai
men nak tahu tula dehe lubuk linggau

Monday, November 16, 2009

Bujang Kurap

Posted by Yayux at 1:40 AM 0 comments
Bujang Kurap

Lubuk linggau folk tale

Oleh Benny Arnas

Bukit Sulap

Bila suatu waktu nanti, Tuhan berketetapan bahwa kalian harus berada di Lubuklinggau atau Musirawas (entah karena bus kalian yang transit, atau kunjungan khusus, atau memang akan tinggal menetap), maka perlu rasanya dirobohkan sebuah pohon cerita yang sudah sedemikian lama dipelihara oleh masyarakatnya sendiri.

Hanya berjaga-jaga: mungkin saja, kalian akan mendengar sebuah nama atau julukan atau juga olok-olokan yang berbunyi ”Bujang Kurap”. Tentu saja kalian akan membayangkan semacam penyakit kulit menular yang diidap seorang pemuda, seorang bujang. Mungkin juga kalian akan langsung memaklumi bagaimana si pemuda dipanggil ”Bujang” atau belum menikah: siapa yang sudi disunting lanang kurap? Dan sangatlah mungkin bila pikiran kalian pun melukiskan parasnya dengan sangat buruk dan menyeramkan—walaupun sebenarnya belum tentu juga orang yang terkena kurap itu adalah ia yang tak elok rupanya!

Mengapa perlu berjaga-jaga?

”Bujang Kurap” kadang jua dipakai untuk berolok-olok sesama kawan—atau juga terhadap orang lain—dengan berbagai dalih: satu/beberapa orang yang memang kurap—walaupun sedikit saja bercak itu terdapat di bagian tubuh tertentu; atau orang tak disenangi itu jauh dari rupawan wajahnya; atau sekadar mengolok-olok tanpa harus memikirkan tersambung atau tidaknya kata yang mereka gunakan untuk berolok-olok; atau juga ada alasan lain….

Sebenarnya, tak ada yang perlu diluruskan sehingga cerita ini harus dituliskan, apabila ”Bujang Kurap” yang dimaksud itu berada dalam pengertian bahasa Indonesia yang setakzimnya. Perkaranya adalah olok-olokan itu diambil dari sebuah cerita yang melegenda di Bumi Silampari, tentang seorang laki-laki yang berjuluk ”Bujang Kurap”.

Ini bukan perkara bahwa kampung kami tak ingin diturun-derajatkan dengan penggunaan julukan pemuda itu. Artinya, bila pun Bujang Kurap dicerita-legendakan sebagai bujang yang kurap saja, maka tak apa-apalah. Namun, Bujang Kurap kami adalah pemuda yang sifat dan tabiatnya sangatlah bertentangan dengan penilaian orang terhadap parasnya. Bujang Kurap kami adalah pemuda yang elok perangainya. Entah, apakah orang-orang kampung kami yang berolok-olokan tersebut tahu atau tiada mengindahkan cerita si Bujang Kurap, namun disilakanlah kiranya kami merayu, mengajak ikut serta merobohkan batang yang mungkin saja lebih besar dari derum itu.

Mungkin kalian akan mencela, ”Takkah terlebih dahulu, diberi tahu dan diajak dengan bijak, orang-orang kampung ini untuk merobohkan pohon itu?” Alamak jan, ini bukan perkara tak menganggap orang sekampung. Tapi sudah kapalan mulut kami berkisah dan berseru. Tetap saja telinga mereka jangak, pikiran mereka bebal, hati mereka kajat…. Sebagian mereka tak pandai memperlakukan cerita rakyat itu dengan hikmah.

Maka, telah cukupkah kiranya alasan untuk membentang cerita tentang si Bujang Kurap?

Adalah Datuk Saribijaya, laki-laki gagah nan rupawan: satu dari dua depati yang mengawal kepergian sang raja, Datuk Ketemenggungan sekeluarga, dari kerajaannya, Pagarruyung. 1

Setelah sekian lama mengikuti pengembaraan sang raja, singgahlah Datuk Saribijaya di Titiang Dalam, salah satu kampung di Sorulangun Jambi. 2 Di sana, ia menaut hati seorang gadis dari keluarga kerajaan Melayu Bangko. Putri Sari Banilai, demikian hikayat menceritakan namanya. Alahai, siapa yang tak ingin disunting laki-laki gagah serupa Datuk Saribijaya. Ya, walaupun ia tiada jemawa dengan ketinggian derajat yang disandang semasa di Minangkabau, namun kilau air muka, pembawaan, dan tindak-tanduknya tak urung memikat sesiapa, tak terkecuali bagi gadis-gadis Jambi, tak terkecuali bagi seorang Putri Sari Banilai.

Kain panjang dikebat. Perayaan besar pun dihelat. Betangkup dua hati, berjatuhanlah kelapa muda, bernyanyilah murai-murai Batanghari Sembilan…. Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai memadu kasih secara adat dan kepercayaan. Mereka pun beranak pinak.

Keturunan dari Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai ini pun merajut keluarga-keluarga kecil pula. Nah, salah satu keturunan dari keluarga-keluarga dari silsilah itu rupanya dititipkan Tuhan seorang bayi laki-laki yang kelak termasyhur namanya di seantero Musirawas dan sekitarnya.

Entah bagaimana, orangtuanya 3 yakin saja bahwa suatu saat nanti, putranya akan menjadi pemuda yang berhati mulia. Keyakinan itu tiada jua goyah meskipun beberapa tahun setelah itu, lahir seorang bayi perempuan 4 dalam keluarga mereka. Ya, walaupun dalam tumbuh-kembangnya, si sulung kerap mengidap penyakit gatal di sekujur tubuhnya, namun tak pernah mereka berpilih kasih dalam mencurahkan kasih pada kedua buah hatinya. Sang putra tetap diurus sebagaimana anak yang sakit mesti diperhatikan. Bahkan banyak tabib dan orang pintar yang dimintai bantuan untuk mengobatinya, namun tetap, tak kunjung sembuh penyakit anak bujang mereka.

Singkat cerita, putra mereka tumbuh sebagai pemuda kurap, hingga orang-orang menjulukinya ”Bujang Kurap”. Dan… terbuktilah peribahasa lama itu: Tiadalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkekurangan saja. Ya, sebagaimana dahulu orangtuanya berkeyakinan, Bujang Kurap juga tumbuh sebagai pemuda yang berbudi.

Walaupun orang-orang tahu bahwa Bujang Kurap adalah pemuda yang bersahaja, menghormati orang yang lebih tua, bahkan—ini yang lebih terperhatikan kala itu—tak jarang meringkus perampok yang masuk kampung, namun mereka masih saja menjulukinya seperti itu. Nah inilah yang perlu didudukkan: julukan yang disematkan pada si pemuda, tak lain tak bukan, demi memudahkan penjelasan tentang siapa orang berhati baik yang dimaksud. Ya, tak ada niat untuk berolok-olok dengan julukannya itu.

Dan… itulah mulianya orangtua. Tiadalah mereka merasa malu dengan apa-apa yang mendera anak bujangnya itu. Maka, Bujang Kurap merasa sedih yang tak alang kepalang ketika ibunya meninggal. Tak lama berkelang, Bujang Kurap pamit pada ayahnya untuk merantau, mengembara mencari kesaktian-sebagaimana cara orang-orang dahululah.

Dalam kisah yang sudah dipersingkat, setelah memperoleh kesaktian dari sebuah pertapaan, Bujang Kurap melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah aliran air bernama Sungai Rawas. Aliran itu hulunya bermula dari celah gugusan bukit di sebelah timur Bukit Barisan. Dari sini, mengalir ke arah timur: panjang dan berliku-liku. Akhirnya bermuaralah di daerah yang kini bernama Musi Banyuasin, namun masih berdekatan dengan perbatasan Musirawas. Maka, Bujang Kurap pun melalui dusun-dusun di sepanjang sungai: Kota Tanjung, Napal Licin, Muara Kulam, Muara Kuis, Pulau Kidak, dan banyak lagi, berakhirnya di Dusun Pauh, dan bermuara di daerah dekat Sungai Musi yang bernama Muara Rawas.

Bujang Kurap membantu penduduk dusun-dusun yang dilaluinya. Membantu menaikkan bubungan rumah, mengangkut batu jelapang untuk memirik rempah, membuka ladang, menyadap karet, memanen kopi, dan tentu saja dengan semua kesaktian yang dimiliki, ia mengamankan kampung dari sekawanan penyamun, perampok, dan kelompok pembuat onar lainnya.

Nama Bujang Kurap pun termasyhur di bantaran Sungai Rawas. Orang-orang menaruh hormat padanya. ”Bujang Kurap” bukan lagi julukan yang memerudukkan keburukan seseorang. ”Bujang Kurap” dipakai untuk melukiskan betapa baiknya hati seorang pemuda; betapa rupa bukanlah tiang untuk mengukur tabiat.

Bujang Kurap menghabiskan hayat di sebuah kampung di Lubuklinggau, Ulak Lebar. 5 Di sana, ia mengajarkan silat dan kuntau-bela diri Sumatera, dan ilmu kesaktian yang dimilikinya kepada penduduk setempat dan datangan.

Bujang Kurap dikebumikan di kaki Bukit Sulap, daerah yang dibentuk oleh tiga aliran sungai: Sungai Kasie, Sungai Ketue, dan Sungai Kelingi.

Sebenarnya apa-apa yang baru saja diceritakan dapatlah dikatakan sebagai sebuah ringkasan yang tak sempurna dari sebuah kisah yang utuh. 6

Bujang Kurap juga manusia. Pastilah ada kekurangan, kekhilafan, dan keburukan sifat dan tabiatnya. Namun, tanpa bermaksud mencari alibi, apa-apa yang hitam dalam perjalanan hidupnya tiba-tiba menguap saja, bila disandingkan dengan keelokkan budi pekertinya.

Hingga kini, di tepi Sungai Kelingi, sebelah selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, tempat Bujang Kurap tidur berbungkus kain putih murah, masih ada saja orang-orang yang mengadakan reritual demi sesuatu yang sebenarnya mereka sendiri tak sepenuhnya yakin dapat diraih.

Artinya, bila kalian tak hakkul percaya pada cerita yang diringkas ini, setidaknya lihatlah orang-orang yang belum tegak imannya itu. Mereka mungkin tak paham beragama, namun mereka paham sekali bahwa tiadalah akan ”berkah”—menurut mereka—sesembahan yang dijaban, bila arwah yang diharapkan membubung itu bukan orang baik-baik semasa hidupnya.

Oh, malu sebenarnya mengatakan ini:

Bila tak bisa diajak bersekutu orang-orang kampung demi merobohkan batang yang besar itu, maka tak ada salahnya bukan, kami mengait tangan kalian untuk mengabar kebaikan yang tak dimunculkan?

Ya, Bujang Kurap kami bukan serupa Malin Kundang di Minangkabau. Namun, uda-uni di barat Sumatera dapat dengan layak menempatkan cerita anak durhaka itu sebagai pembelajaran akhlak dan budi pekerti. Ini perkara salah bungkus! Kami pun kadang-kadang membersit tanya: Mengapa sampul cerita ini harus bertulis ”Bujang Kurap”. Mengapa tak mengambil judul lain?

O bukan hanya itu, Kawan! Cerita ini tak pernah dibukukan sebagaimana layaknya buku bacaan (jadi, jangan berharap kalian akan menemukan semacam buku cerita rakyat Musirawas-Lubuklinggau di toko-toko buku di kampung kami). Bahkan dicetak sebagai buku cerita ringan—yang disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah daerah kami, juga tidak!

Kantong buah karet sudah meletus. Biji-bijinya berhamburan di tanah yang berselimut daun-daun kering yang berwarna abu. Hanya menghitung hari, semua telah tumbuh. Dan kini, sudah berabad kiranya cerita itu disiram, dipupuk, dan dijaga. Menjadi batang. Semakin besar. Sukar sekali dirobohkan, Kawan!

Jadi, bila suatu waktu nanti, Tuhan berketetapan bahwa kalian harus berada di Lubuklinggau atau Musirawas (entah karena bus kalian yang transit, atau kunjungan khusus, atau memang akan tinggal menetap), kami berharap; kalaupun kalian tak mampu merobohkan pohon itu, paling tidak, janganlah kalian indahkan olok-olokan orang kampung kami yang menjadikan seorang pemuda kurap sebagai senjata olokannya. ***

Lubuklinggau, 13-16 Mei 2009

Catatan:

  • 1. Bersama bala tentara dalam jumlah besar, Adityawarman datang ke Pagarruyung. Tentulah maksudnya tiada lain-tiada bukan: menguasai kerajaan yang dipimpin oleh Datuk Ketemenggungan itu. Demi mengetahui bala prajurit yang dimiliki kerajaan tiadalah mungkin menandingi kekuatan yang dibawa oleh Adityawarman, maka bersama dua depatinya (salah satunya Datuk Saribijaya), Datuk Ketemenggungan meninggalkan Istana, pergi ke selatan.
  • 2. Dalam sejarah Minangkabau disebutkan bahwa Datuk Ketemenggungan pergi meninggalkan istana Pagarruyung. Ia pergi bersama istrinya, Ratu Masturi, dua orang putrinya yang masih sangat muda bernama Putri Cindai Kusuma dan Putri Megasari, serta dua orang depati sebagai pengikutnya yang setia. Setelah tiba di wilayah perbatasan Pagarruyung dan Melayu, Datuk Ketemenggungan memberi tanda pada sebatang pohon durian besar serupa tekukan pada cabang yang paling tinggi menggunakan pedangnya (maksudnya agar mudah dilihat dari jauh). Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Durian Batakuk Rajo. Dari sini mereka meneruskan perjalanan ke Selatan; melalui negeri Melayu, daerah Rawas, Rupit, dan sampailah di Muara Rawas. Setelah dibuatkan pesanggrahan, istri dan kedua anaknya ditinggalkan di Muara Rawas. Datuk Ketemenggungan meneruskan perjalanannya ke Bukit Siguntang. Di kemudian hari, kedua pengikutnya kembali ke Durian Batakuk Rajo, lalu mengembara masuk hutan, menjadi cikal bakal suku anak dalam.
  • 3. Dalam berbagai sumber yang telah diupayakan hingga saat ini, tiadalah didapat kabar (bahkan semacam kabar-kabari sekalipun), siapa nama kedua orangtuanya.
  • 4. Sang adik bernama Putri Nilam Sari. Kelak tumbuh sebagai seorang gadis yang berparas elok-sebagaimana Putri Melayu digambarkan. Adik satu-satunya ini kemudian menikah dengan Lemang Batu, putra ketiga dari Ratu Agung, raja dari Kerajaan Sungai Serut, Bengkulu.
  • 5. Inilah takdir anak manusia. Ulak Lebar adalah satu-satunya kampung di mana penduduknya mencegah Bujang Kurap untuk mengembara ke tempat lain. Tentulah hal ini membuat Bujang Kurap tersanjung: mereka dapat menerima kehadiran seorang kurap seperti ia, terlebih tak lama kemudian ia diangkat sebagai hulubalang.
  • 6. ”Kisah yang utuh” itu terdapat dari naskah-naskah (bakal buku) yang ditulis budayawan Sumsel, Drs Suwandi, sejak 1983.

Credit :
Harian kompas 26072009
Photo : welcome to my life on flickr

Sunday, November 8, 2009

Temam water fall, southern sumatra highland

Posted by Yayux at 5:39 AM 0 comments
Temam water fall
Musi Rawas Regency

From other rejang land area is Musi rawas Regency, with Lubuk Linggau Town as capital city. This are now pupular with local name as Bumi Silampari, taken from folktale from this area, Tale of princess silampari.

Photo by Kristoforus Ricardo


The Temam Waterfall is a natural tourist area. With height 12 m and width of 25 m. Interior with natural rocks surrounds and green trees as the natural environment unspoiled.

This tourism object is located 11 km to the south of the center Lubuk Linggau Town, Musi Rawas, South Sumatra Province, Indonesia. Lubuk linggau town will be get within a 6.5-hour journey by motor vehicle from Palembang. As another alternative gate, the city avaible reach Bengkulu City and is approximately 4 hours drive from Bengkulu.

i recomended you will chosse from Bengkulu gate way, because from here, with 4 houra trip to Lubuk Linggau, you will pass Kapahiang and Curup town, the old town and biggest in rejang land, where you can enjoy the fres mountain view of Bukit Barisan series. All you will stop by a moment at pelalo plateau (pelalo highland) before arrived to destination.

Photo by Pemkot Linggau

This waterfall itself is located ± 50 m from the road that connects subdistric Air Temam and sub distric Rahma. For tourists who will visit this region takes ± 30 minutes from the center Lubuk linggau town with a motor vehicle in two alternative entrance, which is the entrance to the direction of subdistric Rahma or subdistric Temam with pretty good connecting road conditions.

To be able to enter the area of this waterfall tours, visitor entrance fee charged for rp. 1000 for one person and registration fee charge Rp. 300o every car or motorcycle . Motor vehicle parking are not large, because it was full, you can parked at lane road also.

Thursday, April 16, 2009

Goa Napalicin di tanah rejang, Musi Rawas

Posted by Yayux at 4:27 AM 0 comments
Goa Napalicin, berada di tanah rejang dimana kini menjadi menjadi wilaya sumatra selatan yaitu Musi Rawas, terletak sekitar 150 kilometer dari kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan dinilai mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan, namum belum banyak dikenal karena belum dikelola.

Keberadaan tanah rejang di Kota Lubuk Linggau dibuktikan tetap diakuinya suku rejang dan bahasa rejang sebagai salah satu suku utama dan bahasa utama dari lima suku dan bahasa utama di kota tersebut.

Kejayaan wisata Goa Napalicin dengan nuansa stalagtit dan stalagnit telah berlalu. Begitu juga arung jeram di Sungai Rawas, Musi Rawas (Mura) pun senasib dengan objek air terjun Batu Ampar.

Memasuki kawasan Goa Napalicin di Kecamatan Ulu Rawas, Mura, kita akan disuguhi nuansa bebatuan alami. Ya. Dari pintu masuk gua seluas sekitar 15 meter, bagian lantai dinding dan atas gua berbentuk stalagtit dan stalagnit yang terbentuk secara alami sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu.


Objek yang terdapat di bumi Lan Serasan Sekantenan ini memang pernah menjadi primadona wisata sebelum krisis ekonomi melanda tahun 1998 lalu. Jarak untuk mencapai Lubuklinggau, Ibu Kota Kabupaten Musirawas dari Palembang memang lumayan jauh, sekitar 350 km. Alternatif lain, objek wisata ini bisa ditembus melalui Bengkulu sekitar 150 km dan dari Palembang Anda bisa menggunakan kereta api atau mobil atau pesawat.

Bila telah mencapai Lubuklinggau, Anda belum bisa menikmati Gua Napalicin. Kita harus menempuh lagi perjalanan darat sejauh sekitar 135 km, 100 km di antaranya merupakan jalan mulus Jalan Lintas Sumatera. Namun sisanya merupakan jalan berbatuan dan tanah sehingga jarak dari Linggau ke lokasi harus ditempuh selama sekitar lima jam.

Sejak didirikan tempat peristirahatan “Rawas River Lodge” atau dalam bahasa Belanda Rawas River-Lodge bij het dorpje Surulangun, in het Zuid Sumatraanse tropische regenwoud, perkembangan sektor pariwisata di Kabupaten Musi Rawas sungguh sangat menjanjikan. Setidaknya, dalam kurun 1992-1998, ribuan turis berkunjung ke daerah ini. Bahkan, Kecamatan Ulu Rawas dan Rawas Ulu menjadi kawasan wisata yang sangat ramai di kunjungi dari manca negara.

Seiring terjadinya krisis ekonomi (krisis moneter) yang dilanjutkan dengan era reformasi pertengahan tahun 1998, minat para turis untuk berlibur ke Musi Rawas menurun drastis. Bahkan sejak tahun 2000, sektor pariwisata lumpuh, wisatawan manca negara khususnya dari Eropa yang berkunjung jumlahnya mengalami penurunan. Puncaknya, sejak terbakarnya Kubu Lodge—sebuah tempat peristirahatan yang berada di kaki bukit batu milik salah seorang investor keturunan Belanda bernama Mr Johan Tedo, aktivitas wisata di kawasan itu lumpuh total.

Bupati Mura mengungkapkan, beberapa objek yang saat ini dikembangkan di antaranya Gua Napalicin, Danau Raya, Danau Suka Hati, dan Danau Gegas. Objek wisata ini merupakan sebagian dari 20 potensi wisata yang ada di daerah ini. Mura berusaha menjadi proyek percontohan dengan mengajak kabupaten/kota se-Sumatera Selatan untuk menggagas paket wisata yang sinergis.


Legenda dan Keindahan
Konon, menurut legenda yang dipercaya warga setempat, dulunya bukit tersebut adalah sebuah kapal yang terdampar. Kemudian lewatlah seorang pengembara sakti bernama Serunting Sakti atau Si Pahit Lidah. Melihat ada kapal yang terdampar, Si Pahit Lidah berusaha untuk naik ke atasnya namun tidak berhasil. Si Pahit Lidah pun menggumam, dan kemudian gumaman (sumpah) itu membuat kapal berubah menjadi batu.
Goa Batu Napalicin yang berada pada ketinggian sekitar 20 meter dari jalan, di dalamnya terdapat lorong sepanjang lebih kurang 1,5 kilometer. Lorong itu menghubungkan empat bukit, Bukit Batu, Bukit Semambang, Bukit Payung, dan Bukit Karang Nato—orang setempat menyebutnya, Bukit Keratau. Lorongnya tidak luas, hanya bisa dilalui dengan cara merunduk bahkan tiarap. Jarak bukit itu dari ibu kota kecamatan sekitar 12 km, melalui jalan darat maupun sungai. Hingga kini, di dalam gua batu masih tersimpan sejuta misteri.
Di bagian depan, pengunjung langsung disuguhi pemandangan yang artisik. Saat ini, para pengunjung yang umumnya wisatawan lokal, akan disuguhi budaya setempat berupa tarian dan lagu daerah. Diiringi. biola, seorang tetua menghibur pengunjung disertai anak-anak yang membawakan tarian menyambut tamu.


Memasuki lorong-lorong gua, kelelawar beterbangan. Titik-titik air dari atas gua memberikan kesan mistis. Apalagi, sesekali kelelawar beterbangan. Pada beberapa bagian memang gelap sehingga warga setempat memasang beberapa obor bambu. Di bawah cahaya temaram, keindangan berbagai sisi gua makin berbinar.
Berbagai bentuk terlihat. Setidaknya kita butuh lebih dari empat jam untuk menikmati berbagai sudut gua. Pada beberapa bagian, cahaya menembus gua, terutama antara bukti yang satu dengan bukit yang lain. Celah-celah batu membiaskan bentuk artistik.
Setelah menikmati Gua Batu Napalicin, kita masih objek wisata Air Terjun Sungai Kerali (Desa Napalicin) dan Air Terjun Batu Ampar, Desa Kota Tanjung. Lalu di Sungai Rawas, yang berada di sisi Gua Napalicin, dapat digunakan untuk berarung jeram karena arusnya yang deras dan beberapa rintangan alami juga terdapat di sepanjang sungai.
Air terjun Batu Ampar adalah bebatuan dari napal yang terhampar secara bertingkat. Dulu, saat daerah itu masih alami, tempat tersebut sangat indah karena air terjunnya mengalir secara bertingkat-tingkat. Di hamparan batu napal, terdapat lobang-lobang kecil. Ketika sungai pasang, napal bertingkat tadi tenggelam oleh air. Tapi ketika sungai surut, banyak sekali ikan yang terjebak di dalam lubang.
Masyarakat sekitar tinggal menangkap ikan yang terjebak di dalam lubang itu. Objek wisata ini mungkin bisa dijadikan alternatif, terutama bagi yang hobi berpetualang di alam yang masih asri dan perawan



Sumber :
ht*p://www.potlot-adventure. com/2009/04/06/misteri-goa-napalicin/

Monday, March 16, 2009

BUNGE MUSI RAWAS

Posted by Yayux at 5:31 AM 0 comments

Lagu daerah Lembak Lubuk Linggau






Ngalo bunge Musi Rawas asli
ngape tande cinte suci
Nga pujaan hagale insan
yang ngarapkan kasi hayang


Bunge anggon sedang merekah
Harapan ati umak ebak
Hanyange bunge dak betan lame
mekak pegi menghadap nye


Mpok mekak nga col ade agi
Ingatan manes tepedam di dede
Hagalea dak akan ku lupe
yang ku ingat halamea


Mekak hanye tinggalah ingatan
Royat penoh ayo mate Ingatan pade
Udah hedingan kan ku pedam halamea.

Lagu diinspirasi dari cerita rakyat Dayang Torek dari Kota Lubuklinggau dan Musi Rawas.

Dayang Torek adalah nama seorang putri yang sangat cantik, ramah, dan suka membantu penduduk. Bahkan ada yang menyebutkan saat minum air putih, gerakan tenggorok putri saat meneguk air banyak membuat pemuda pemuda terpikat. Kisah hidupnya diakhiri dengan bunuh diri karena tak ingin banyak pemuda yang jatuh korban saat mengikuti sayembara untuk mempersunting Dayang Torek.

Versi lain beranggapan Dayang Torek adalah jelmaan seorang bidadari, dan pergi entah kemana antara ada dan tiada, tapi ada juga yang menceritakan Dayang Torek bunuh diri di Sungai Kasie, ada juga yang mengatakan meninggal di bunuh kakak kandungnya saat semua pemuda bersaing untuk mendapatkan sang putri.

“Takate Lah Royat, Puteri paling Cindo.
Yang Tinggal di Doson Ulak Libo.
Dayang Torek name’a anak raje sang ginde
Beyak orang yang tergile-gile…”

Kisah dayang Torek juga berhubunga dengan Bukit Sulap, Tapak Libo, dan Bujang Kurap yang melegenda di masyarakat setempat.

Posting by :
ALDE DAVINCI (MD-SW.08)
PT.RADIO SWARAUNIB
Lantai Dasar Perpustakaan Universitas Bengkulu
Jl.Wr.Supratman Kandang Limun Bengkulu

Tuesday, February 3, 2009

Perjalanan Pendek Ke Bukit Kaba Menemukan Sebuah Arti

Posted by Yayux at 10:56 PM 0 comments

Oleh : Dion Barus

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, besar dalam budaya, besar dalam suku bangsa dan besar dalam perjuangan. Bapak-bapak bangsa (Founding Fathers) telah meletakkan dasar yang kokoh dalam perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Selain itu lebih dari dua ratus juta rakyat Indonesia memiliki peranan-peranan yang tak kecil pula.

Sebagai satu dari sekian ratus juta manusia yang lahir di Ibu Pertiwi saya juga memiliki sebuah usaha yang kecil dalam menemukan arti hidup berbangsa dan bernegara di negeri indah ini. Usaha itu bermula dari sebuah perjalanan pendek yang mungkin akan mengubah pandangan hidup saya terhadap kekayaan bangsa Indonesia.

Hari Kamis tanggal 22 Januari 2009, saya bersama teman-teman kampus sepakat untuk menaiki gunung (bukit) Kaba di Curup, Provinsi Bengkulu. Bagi saya pendakian ini merupakan pengalaman pertama. Sebagai pendaki junior, hal pertama yang muncul di pikiran adalah pendakian ini akan membosankan, melelahkan, menghabiskan uang dan waktu. Namun semua itu salah besar justru disinilah saya menemukan sebuah pandangan baru dari alam indah Indonesia.


Perjalanan dari kota Lubuk Linggau ke Curup sangat mengasyikan, sepanjang perjalanan mata kita disuguhkan pemandangan yang indah, perkebunan di kiri dan kanan jalan udara dingin nan sejuk menemani perjalanan yang menempuh waktu satu setengah jam itu. Sesampainya di pos penjagaan gunung, saya sempat mengobrol bersama penjaganya di tengah hamparan kebun jagung dan sayuran yang dingin, sesuatu yang tidak akan pernah saya temui di kota.

bukit-kaba-1

Sehabis menunggu teman-teman menunaikan Sholat Jumat kami sepakat untuk langsung mendaki gunung Kaba. Di tengah perjalanan menunju puncak gunung, kami berhenti sejenak di sebuah aliran sungai kecil dengan aliran air yang jernih. Penat dan letih seakan sirna. Akhirnya setelah berjalan dan mendaki di areal yang cukup terjal selama 2 jam kami sampai juga di puncak. Inilah titik kulminasi dari semua letih dan lelah dalam perjalanan. Dipuncak udara sangat bersih dan murni dengan pemandangan yang tak dapat saya ucapkan ditambah kabut yang membuat suasana lebih damai. Namun, semua perasaan tersebut seakan tercemar oleh banyaknya tumpukan sampah dan kotoran dari para pendaki gunung itu sebelumnya. Base camp pendaki tidak lagi menjadi tempat yang bersih dan sehat. Sungai yang menurut teman saya setahun yang lalu masih jernih dan mengalir kini keadaannya sangat kotor dan tidak lagi mengalir seperti dulu. Oleh sebab itu, kami tidak dapat lagi menggunakan air dari sungai di puncak itu untuk keperluan kemah sehari-hari. Karena itu kami terpaksa mengambil air di tempat yang lain dengan konsekuensi jarak yang semakin jauh. Melihat semua itu, kami semua sepakat untuk membersihkan semua sampah dan kotoran yang ada di base camp dan membuatnya bersih seperti apa yang dilihat teman saya setahun yang lalu. Tentu bukan hal yang mudah untuk membersihkan sampah dan kotoran itu dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam bagi kami untuk membuatnya bersih. Di tengah upaya pembersihan itu, banyak pula teman-teman pendaki yang lain (yang berasal dari luar propinsi) turut membantu kami dan sayangnya tak sedikit pula yang hanya melihat dan mencemooh karena menganggap apa yang kami lakukan hanyalah bentuk dari kesia-siaan belaka.

bukit-kaba-2

Setelah pembersihan kami mendirikan tenda dan dilanjutkan dengan memasak untuk makan malam. Tak lupa kami memastikan bahwa semua sampah kami telah dibuang dengan benar. Malam pertama di puncak gunung pun terlewati ditemani oleh ratusan bintang di langit dan kilauan lampu-lampu rumah penduduk di bawah gunung. Keesokan harinya kami menuju puncak tertinggi dari gunung Kaba dimana di sana ada kawah belerang. Sekali lagi perjalanan ke puncak kawah lebih sulit daripada menuju puncak base camp, kontur daerahnya berbatu dengan kemiringan hampir 90 derajat. Rupanya dilokasi itu, telah dibangun anak-anak tangga oleh Pemerintah Daerah setempat sehingga memudahkan pendaki untuk menaiki puncak kawah. Rupanya bagi sebagian pendaki, fasilitas anak-anak tangga itu disalahgunakan sebagai tempat untuk vandalisme, banyak coretan-coretan dan graviti yang bertuliskan nama atau asal dari pendaki yang pernah mendaki di gunung itu. Hampir keseluruhan anak tangga penuh oleh coretan bahkan sampai ke pagar pembatas kawah. Tentu hal ini mengurangi keindahan dari pemandangan gunung Kaba tersebut. Salah satu teman saya sebenarnya telah mempersiapkan untuk menuliskan nama kelompok kami di anak tangga itu, namun karena desakan dari saya dan teman-teman yang lain maka niat itupun diurungkan. Karena kami yakin bahwa perjalanan jauh kami dari Palembang ke Bengkulu bukan untuk mengotori gunung namun menikmati keindahan alam yang tak dapat kami temukan disini.

tenda-bukit-kaba

Setelah 1 hari menginap di puncak gunung Kaba kami akhirnya turun, semua sampah dan kotoran yang kami tinggalkan selama menginap telah dibuang di tempat sampah. Boleh dikatakan kami meninggalkan Gunung Kaba dengan bersih seperti sebelum kami mendaki. Perjalanan pulang sama menariknya dengan perjalanan kami menuju puncak gunung.

Kini, saya telah berada di Palembang sebuah kota yang tak akan pernah sama dengan apa yang kami rasakan di puncak gunung Kaba. Kami pulang dengan hati yang senang dan puas bukan karena telah berhasil mendaki gunung dengan tinggi 1.300 meter di atas permukaan laut itu namun lebih kepada perasaan bahwa kami telah dapat menghargai alam Indonesia. Usaha kecil yang saya dan teman-teman lakukan bukanlah usaha besar seperti yang telah dilakukan oleh Pahlawan-pahlawan besar Indonesia dan orang-orang yang telah mengorbankan nyawa dan raganya demi tegaknya negara Indonesia. Apa yang kami lakukan adalah usaha kecil yang dapat kita lakukan bersama, usaha kecil inilah yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua rakyat Indonesia sesuai dengan bidangnya masing-masing karena saya yakin kita memiliki usaha-usaha sendiri baik itu kecil atau besar untuk membangun bangsa ini seperti apa yang telah diperjuangkan oleh Pahlawan kita. Usaha kecil akan mengubah Indonesia karena Aku untuk Bangsaku dimulai dari hal kecil.

Sumber : http://dionbarus.wordpress.com


 

Millenium Fashion of World Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by FashionFashionFashion