Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts
Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts

Wednesday, May 4, 2011

Folk tale : Cerita Putri Silam Pari

Posted by Yayux at 7:49 PM 0 comments
Cerita rakyat dari Muara Lakitan, Musi Rawas, Sumatra Selatan




A. Bujang Pemanah Pergi Berburu

Pada zaman dulu hiduplah seorang perempuan tua dengan seorang anak lelakinya. Mereka berdiam di sebuah ladang. Kehidupan mereka cukup terjamin. Anak lelakinya gemar sekali memanah. Ke mana pergi pasti di belakang punggungnya ada alat pemanah. Karena itulah, ia dinamakan ibunya Bujang Pemanah.

Bujang pemanah sudah cukup dewasa. Ibunya mengharapkan segera dapat menimang cucu. Bujang pemanah di suruhnya mencari pasangan hidup. Tetapi bujang pemanah tidak pula berniat beristri.

Sudah beberapa kali ibunya mengenalkan gadis gadis kepadanya, tetapi selalu di tolak oleh Bujang Pemanah. Alasannya belum ada yang berkenan di hatinya, atau tidak ada yang cantik. Oleh sebab itu ibunya tidak lagi menyuruh Bujang Pemanah segera beristri.

Pada suatu hari Bujang Pemanah pergi berburu. Di tengah hutan yang lebat, Bujang Pemanah bertemu seekor burung yang sangat elok rupanya. Bujang Pemanah sangat tertarik pada burung itu. Tanpa sadar ia mengejar burung itu ke sana ke mari hingga tersesat.

Karena merasa tersesat, dan sulit mencari jejak untuk pulang, Bujang Pemanah tertidur di bawah sebuah pohon yang besar. Bujang Pemanah bermimpi di datangi orang tua bersorban putih. Orang tua berpesan bila Bujang Pemanah menginginkan gadis cantik yang sedang mandi, maka Bujang Pemanah harus menyembunyikan selendangnya, karena dengan selendang itulah gadis cantik tersebut dapat terbang. Bujang Pemanah terjaga dari tidurnya dan berusaha mencari jalan untuk pulang.


B. Bujang Pemanah Bertemu dengan Gadis Cantik

Dalam perjalanan pulang, sayup sayup Bujang Pemanah mendengar bunyi gamelan yang merdu sekali. Bujang Pemanah mencari tempat asal bunyi bunyian itu. Setelah di amatinya, bunyi gamelan itu berasal dari tempat yang tidak jauh dari tempatnya berada. Sambil mengendap endap, Bujang Pemanah mendekati sumber bunyi itu. Dari persembunyiannya, Bujang Pemanah melihat tujuh orang gadis yang parasnya sangat elok. Pakaiannya berwarna warni sehingga terlihat gemerlap sekali. Tak lama kemudian, mereka mandi dan menanggalkan pakaiannya. Dari ke tujuh gadis yang mandi itu, ada seorang yang paling elok. Bujang Pemanah berusaha memanjat pohon untuk mengambil selendang gadis itu. Selendang itu berhasil di dapatkannya dan langsung disimpannya di balik pakaiannya. Bujang Pemanah lalu kembali bersembunyi.
Setelah lama dan puas mandi, ketujuh gadis itu kembali mengenakan pakaiannya. Betapa terkejutnya gadis yang paling elok melihat selendangnya sudah tidak ada. Ia menangis sejadi jadinya. Semua saudaranya terbang kembali ke angkasa. Ia tidak dapat mengikuti saudara saudaranya. Tinggallah gadis itu seorang diri. Bujang Pemanah lalu berjalan mendekatinya, pura pura bertanya siapa dirinya. Setelah diketahui gadis itu bernama Putri Silam Pari, Bujang Pemanah mengajaknya pulang ke ladangnya.

Dalam perjalanannya pulang. Bujang Pemanah di pandu oleh burung yang di kejar kejarnya. Kalau tidak, sulit bagi Bujang Pemanah menemukan jalan untuk pulang ke kampungnya.
Sesampainya di pondok Bujang Pemanah betapa terkejutnya sang ibu melihat anaknya membawah gadis yang sangat elok. Gadis itu dikenalkan kepada ibunya sebagai calon istrinya. Ibunya sangat gembira dan Bujang Pemanah segera dinikahkan dengan Putri Silam Pari.

C. Putri Silam Pari Kembali ke Kayangan


Keadaan rumah tangga Bujang Pemanah dan Putri Silam Pari sangat bahagia. Putri Silam Pari sangat rajin membantu Bujang Pemanah, baik di ladang apalagi di rumah. Lama kelamaan hasil ladang mereka bertambah.

Pada suatu hari ketika mengambil beras di lumbungnya, Putri Silam Pari menemukan selendangnya yang hilang dulu. Putri Silam Pari pulang ke pondok sambil menangis, tak lupa ia membawah selendangnya. Bujang Pemanah terkejut melihat Putri Silampari menangis dan di tangan istrinya ada selendang. Bujang Pemanah mohon maaf dan mengakui kebohongannya selama ini sambil meminta agar Putri Silam Pari tidak akan meninggalkannya. Putri Silam pari tetap pada pendiriannya untuk kembali ke Kayangan dan berjanji akan segera pulang. Dengan hati berat, terpaksa Bujang pemanah mengizinkan istrinya pergi. Pada saat itu mereka sudah di karuniai seorang anak yang bernama Ratu Agung.

D. Bujang Pemanah Menyusul Putri Silam Pari

Cukup lama Bujang Pemanah menunggu Putri Silam Pari, tetapi tidak juga pulang. Ia ingin menyusul istrinya.

Pada suatu malam ketika tidur, Bujang Pemanah pernah bermimpi ditemui orang tua bersorban putih yang tempo hari mendatanginya. Orang tua itu berpesan, bila Bujang Pemanah ingin menemukan istrinya, maka ia harus minta tolong kepada Burung Sapu Langit, lebah, dan kunang kunang. Burung Sapu Langit akan menjadi tunggangannya, lebah sebagai pengawal dan kunang kunang akan menjadi lampu penerang jalannya.

Raja Jin, ayah Putri Silam pari, amat murka mengetahui Putrinya telah menikah. Karena itulah, Putri Silam Pari tidak diizinkan kembali ke bumi.

Bujang Pemanah tidak putus asa. Ia mengembara ke sana ke mari. Berkat perjuangannya, semua persyaratan untuk menjemput istrinya dapat di penuhi.

Bujang Pemanah tak lupa pamit kepada ibunya. Pada waktu bulan purnama berangkatlah Bujang Pemanah menacri istrinya.

Bertemulah Bujang Pemanah dengan Raja Jin. Terjadilah pertempuran yang cukup dahsyat. Berkat bantuan lebah, Raja Jin dapat ditaklukkan dan mati. Putri Silam Pari di bawah kembali ke bumi.

Sesampainya di bumi betapa terkejutnya Bujang Pemanah dan Putri Silam Pari karena keadaan sudah berubah. Tempat mereka yang dulu sepi kini menjadi ramai.
Pesta menyambut Bujang Pemanah dan Putri Silam Pari berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Pada suatu ketika, dusun tempat Bujang Pemanah dan Putri Silam Pari tinggal diserang orang dari daerah lain. Semua rakyat berlari ke hutan. Putri Silam Pari dan Bujang Pemanah akhirnya menjadi siluman.

Keterangan :

Bujang Pemanah bukanlah sebuah nama, tapi dia hanyalah sebutan atau julukan buat pemuda yang suka berburuh, di Lembah Lapan, dekat sungai Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan. Putri Silam Pari juga bukan nama, tetapi julukan. Silam artinya hilang, dan Pari artinya bidadari, sehingga Putri Silam Pari artinya Putri bidadari yang hilang. Nama bidadari ini adalah Ringgu Pisat seperti yang di sebutkan dalam sastra daerah Rawas.


Note :
  • Cerita rakyat ini di sadur dari sastra daerah rawas yang direka dari isi syair syair silampari yang ada di Skripsi Effendi, Umar, 1982 "Cerita Silam Pari dalam hubungannya dengan Latar Belakang Kebudayaan Musi Rawas. Fakultas Keguruan, Uiniversitas Sriwijaya.
  • Cerita ditulis ulang Tun Jang(admin) dari buku Ekpresi Semiotik tokoh mitos dan legendaris dalam tutur sastra nusantara di sumatra selatan, oleh Zainul Arifin Aliana et al 1997.
  • http://rejang-lebong.blogspot.com/2011/05/folk-tale-cerita-putri-silam-pari.html
Credit photo :
  • http://disbudpar.lubuklinggau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=158:tskkt&catid=54:stk&Itemid=151
  • http://img267.imageshack.us/i/pic3296.jpg/

Folk tale : Si Bungsu dan Ular di Puncak Gunung

Posted by Yayux at 9:37 AM 0 comments

Sumber :
  1. http://rejang-lebong.blogspot.com/2011/05/folk-tale-si-bungsu-dan-ular-di-puncak.html
  2. 33 Cerita Rakyat Menakjubkan, PT Mizan Publika, hal . 55-59, 2009

Folk tale : Onak Berduri Sungsang

Posted by Yayux at 8:37 AM 0 comments
Cerita rakyat dari Bengkulu

Pesan moral :
Hidup berdampingan dengan damai akan membawah keselamatan dan kebahagiaan hidup

Sumber :
  1. http://rejang-lebong.blogspot.com/2011/05/folk-tale-onak-berduri-sungsang.html
  2. Cerita rakyat daerah Bengkulu, Jakarta. Proyek IDKD depdikbud 1984
  3. Kumpulan cerita rakyat Nusantara terpopuler,Lia Nuralia & Iim Imadudin, Kawan Pustaka 2009, hal 44-45

Friday, April 17, 2009

The Legend of Tes Lake

Posted by Yayux at 1:12 AM 0 comments
Folklore from Lebong, rejang Land, Bengkulu

Tes Lake, at Lebong Regency, rejang land, Bengkulu Province

THERE was a man lived in Kutei Donok village, Bengkulu. People call him Pahit Lidah. He was named Pahit Lidah because he had magical power. Whatever he said would come true. That was why Pahit Lidah was always careful with his words.

Pahit Lidah had a son. One day Pahit Lidah left his village. He wanted to open new rice field. He asked permission to the head of the village.

The head of the village gave him the permission.

Pahit Lidah went alone.
His son still stayed at home.

After walking for several hours, he finally found a good place for his new rice field. He brought his hoe and started using it. He dug the soil and threw it to the Air Ketahun River. He was working days and nighst and he never stopped to rest. He was very powerful. He kept on hoeing the soil and always threw it to the river.

He had been working for two days and there was a lot of land covering the river. Slowly the soil blocked the water. The soil in the river made the water did not flow smoothly.

The villagers were restless. They knew if Pahit Lidah kept on throwing the soil to the river, finally the river would totally blocked by the soil. They were afraid that the water would overflow and their village would be flooded.

The villagers then reported this to the head of the village. After he knew the problem, the head of the village sent some villagers to meet Pahit Lidah. They had to persuade him to stop working and returned home.
“If he still does not want to go home, tell him that his son is dead,” said the head of the villagers.

Later the villagers left. They finally met Pahit Lidah. As planned, they tried to persuade him to stop working. However, Pahit Lidah ignored them. Then they told him that his son was dead.
“Impossible. My son is fine. He is still alive,” said Pahit Lidah.
They villagers gave up. They went home and reported to the head of the village.

“I’m sorry, Sir. Pahit Lidah did not want to listen to us. Maybe if you tell him, he will listen to you. He really respects you,” said one villager.
“Hmmm. Alright, I will go now,” said the head of the village.
The head of the village then found Pahit Lidah still hoeing the soil. Later he persuaded Pahit Lidah.
“Pahit Lidah, let’s go home now. Your son is dead,” said the head of the village.
Pahit Lidah stopped working. He really respected the head of the village.
Then he said, “Because you said that my son is dead, now I really believe that my son is dead,” said Pahit Lidah sadly.

“So, why don’t you go home now?”
“I will, Sir. I just need to hoe the soil a little more,” said Pahit Lidah.
After that, the head of the village left him. Pahit Lidah just realized his mistake.
Pahit Lidah was so sure that his son was not dead, then his son was indeed dead. He was so angry. However it was too late. He kept on hoeing and throwing the soil to the river. And finally the land completely blocked the river and it made a new lake. People named the lake as Tes Lake.***

Source :
ht*p://indonesianfolklore. blogspot. com/?widgetType=BlogArchive&widgetId=BlogArchive1&action=toggle&dir=open&toggle=MONTHLY-1235894400000&toggleopen=MONTHLY-1238569200000

Tuesday, February 24, 2009

Putri Lalan (Asal Usul Lagu Lalan Belek)

Posted by Yayux at 4:56 AM 0 comments
Cerita rakyat dari Tanah Rejang

Tempat Mandi Bidadari
Alkisah, disuatu dusun yang masih belantara, terdapatlah sebuah bulak (tempat pemandian alam) yang sangat jernih mata airnya. Konon ceritanya, ditengah malam hari setiap bulan purnama tanggal empat belas, selalu didatangi oleh tujuh bidadari cantik dari kayangan yang hendak berhajat mandi dan bersukacita.

Bulak tempat mandi-mandi ketujuh bidadari dari kayangan itu memang masih perawan, karena memang belum pernah ada seorangpun yang datang dan mandi disana. Di bulak itulah ketujuh bidadari kayangan selalu mandi dan bermain dengan bebas serta bersukacita.

Kejadian itupun terus berulang-ulang pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Setelah usai mandi dan bersenang-senang, ketujuh bidadari itupun kembali lagi terbang ke kayangan, tempat tinggal para dewa. Air bulak bekas yang habis dipakai untuk mandi-mandi para bidadari itu, selalu menimbulkan bau wewangian yang amat harum sekali. Konon kabarnya harum wewangian di sekitar bulak itu tidak hilang-hilang sampai tujuh hari lamanya.
Namun demikian, lambat laun tempat mandi-mandi para bidadari itupun diketahui oleh salah seorang nenek tua. Kebetulan nenek tua, penghuni di talang itu tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari tempat mandi-mandi para bidadari.

Semula, pada suatu tengah malam di bulan purnama yang keempat belas, nenek tua itu terjaga dari tidurnya, karena dari arah kejauhan mendengar ada suara banyak orang sedang mandi. Maka nenek tua itu keluar dari talangnya dan segeralah menuju ke arah datangnya suara itu. Setelah nenek tua itu mendekati bulak dengan amat perlahan-lahan, maka tertegunkah nenek tua itu melihatnya. Tak lama kemudian, ketujuh bidadari itupun segera terbang ke angkasa menuju kayangan.

Nenek tua itupun segera kembali ke talangnya dengan penuh tanda tanya dalam pikirannya. Tidak seberapa lama kemudian, tiba-tiba hidung nenek itu mencium bau wewangian yang semerbak harumnya. Bau wewangian itu terus semerbak hingga mengganggu tidur si nenek tua. Bahkan pada keesokan harinya, bau harum itupun masih tercium dihidungnya.

Oleh karena rasa ingin tahu itulah, maka bergegaslah nenek tua itu menuju ke bulak. Sesampainya dibulak, nenek itu segera memeriksa tempat yang habis dipakai mandi-mandi para bidadari semalam. Ditempat inilah nenek tua menemukan berbagai jenis bunga-bungaan yang ternyata menimbulkan bau wewangian yang amat luar biasa semerbaknya.

Maka tercetuslah perkataannya: “Oi, ternyata disinilah sumber asal bau wewangiannya. Baru sekali ini kami melihatnya, ternyata tempat ini amatlah indah, mata airnya jernih, sejuk lagi pula amat nyaman udaranya”. Nenek itupun berpikir dalam hatinya, sambil memunguti bunga-bunga harum yang beraneka warna. “Pastilah yang datang mandi-mandi disini bukan bangsa manusia, melainkan bangsa bidadari, sebab mereka bisa terbang tinggi dan jauh hingga menghilang di angkasa”.

Sesudah puas memeriksa bulak, nenek tua itupun segera meninggalkan tempat itu, dan tiada lupa membawa segenggam bunga harum warna-warni yang diambil dari bulak. Bunga-bunga itu kemudian disimpan di talangnya, dan ternyata bunga-bunga itulah yang menimbulkan bau wewangian yang semerbak hingga tujuh hari lamanya.

Sejak saat itulah nenek tua itu mengetahui bahwa disekitar talangnya ada sebuah bulak, tempat mandi-mandi alam yang amat indah pemandangannya. Mata airnya jernih, udaranya pun amat sejuk dan nyaman. Itulah awal pengalaman yang menakjubkan bagi nenek tua yang tinggal sendirian di talangnya.

Kejadian itupun berulang terus-menerus setiap bulan purnama tanggal empat belas tengah malam. Oleh sebab itu nenek tua itupun lama-lama menjadi terbiasa, dan tiada menghiraukan lagi. Sebenarnya pula, ketujuh bidadari itupun sudah merasa curiga kalau ada bangsa manusia yang telah mengetahui kedatangannya di tempat itu. Ketujuh bidadari itu mulai curiga, karena setiap hendak mandi lagi, ada beberapa bunga yang hilang, bahkan tempat itu selalu bersih. Maka tiap kali mereka hendak turun mandi ke bulak itu, selalu membawa bunga warna-warni dari kayangan yang harumnya amat luar biasa.

Akhirnya ketujuh bidadari itu mengetahui bahwa yang sering melihatnya dan mengambil bunga-bunganya, serta membersihkan tempat itu adalah seorang nenek tua. Oleh karena si nenek tua itu dianggap tidak mengganggunya, maka para bidadari itupun tiada terlalu merisaukannya.

Bujang Mengkurung dan Nenek Tua
Kisah selanjutnya, disebuah dusun yang agak jauh dari talang nenek tua, hiduplah sepasang suami-istri yang sudah cukup tua dengan seorang anak bujangnya. Oleh karena keduanya sudah tua, maka sibujang itulah yang tiap harinya mencarikan makanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Hampir tiap hari si bujang keluar masuk hutan berburu binatang, mengambil ubi-ubian, memancing ikan, serta mengambil kayu bakar. Pendek cerita si bujang itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya. Oleh karena itu, si bujang itu lebih dikenal dengan nama Bujang Mengkurung.

Pada suatu hari pergilah Bujang Mengkurung itu masuk ke hutan hendak berburu binatang. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Hari sudah menjelang senja, tetapi Bujang Mengkurung belum juga mendapatkan hasil buruannya. Biasanya sebelum matahari condong ke barat, Bujang Mengkurung sudah pulang ke rumah dengan membawa hasil buruannya.

Padahal, bekal makanan dan minum yang ia bawa itu sudah habis. “Sudahlah kepalang basah, lebih baik tak pulang ke rumah daripada belum menghasil buah,” guman Bujang Mengkurung. Si Bujang Mengkurung itupun berjalan terus dengan gontainya hingga sudah tidak tahu lagi arah rimbanya. Maka iapun tersesat di tengah belantara.

Namun keberuntungan masih berpihak pada Bujang Mengkurung, karena pada saat malam tiba ia menemukan sebuah talang. “Oi, beruntunglah aku ini dapat tempat untuk berteduh,” gumannya lirih sambil menghela napas panjang. Maka, segeralah Bujang Mengkurung mengetuk pintu talang itu. Tak seberapa lama kemudian, muncullah nenek tua itu sambil membawa lampu penerang yang terbuat dari bambu.

Setelah dipersilahkan masuk, Bujang Mengkurung itupun memperkenalkan diri, lalu menceritakan asal-usulnya hingga ia tersesat di talang nenek tua itu. Mendengar ceritera Bujang Mengkurung itu, nenek tua menjadi iba dan penuh haru. Maka dengan rasa tulus nenek tua itu memberi makanan serta minuman kepada Bujang Mengkurung.

Nenek Tua Buka Rahasia
Sungguhlah beruntung bagi Bujang Mengkurung, karena nenek tua itu telah memperlakukannya dengan ramah dan penuh kasih sayang. Bahkan Bujang Mengkurung telah dianggabnya sebagai cucunya sendiri. Maka merekapun saling berceritera tentang pengalaman hidupnya masing-masing.

Malam terus berjalan sesuai dengan kodratnya hingga menjelang larut. Tiadalah mungkin Bujang Mengkurung itu pulang ke rumahnya. Nenek tua itupun tak tega membiarkan Bujang Mengkurung pulang dilarut malam. Maka Bujang Mengkurung itupun berinap di talang nenek tua itu.

Sebenarnya, ketika Bujang Mengkurung itu memasuki talang nenek tua itu, ia telah mencium bau wewangian yang harumnya amat menusuk hidungnya. Oleh karenanya, Bujang Mengkurung tak dapat tidur dengan lelap. Bahkan sebentar-sebentar terjaga dari tidurnya karena semerbak bau wewangian yang luar biasa harumnya. Setelah mengamati sekitarnya, secara samar-samar, ia menatap tumpukan bunga-bunga yang beraneka warna.
“Barangkali bunga-bunga itulah yang mengeluarkan bau yang amat harum,” pikirnya dalam hati. Tetapi Bujang Mengkurung tidak berani menanyakan hal itu kepada nenek tua, karena malam telah berlarut.

Pada keesokan harinya, sebelum mohon diri, Bujang Mengkurung memberanikan diri menanyakan tentang bau harum serta hubungannya dengan bunga-bunga yang menumpuk dalam talang nenek tua itu. Mulanya, nenek tua itu agak enggan berceritera. Tetapi, setelah menatap Bujang Mengkurung yang penuh menghiba itu, maka diceritakanlah hal ikhwal tentang rahasia tumpukan bunga itu.

Bujang Mengkurung sangat tertarik sekali dengan ceritera nenek tua itu. Lebih-lebih ceritera tentang tujuh bidadari yang sering mandi di bulak pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Maka ia sangat berharap untuk dapat melihat ketujuh bidadari yang sering mandi itu. Bujang Mengkurung lalu mohon pamit, dan berjanji kelak akan datang lagi ke talang nenek tua jika hendak menjelang bulan purnama yang keempat belas.

Larangan Turun ke Bumi
Dikisahkan selanjutnya, di kayangan tempat tinggal bangsa dewa dan bidadari, sedang mengadakan persidangan istimewa. Oleh karena itu yang hadir dalam persidangan istimewa hanyalah para pucuk pimpinanan dewa saja. Adapun yang sedang dibahas adalah firasat datangnya hari buruk yang akan menimpa kehidupan di kayangan.

Pada akhirnya, dalam persidangan itupun telah dicapai kata sepakat, bahwa demi keselamatan kehidupan di kayangan, maka untuk sementara waktu penghuni kayangan tidak diperkenankan turun ke bumi. Jikalau ada dewa atau bidadari yang melanggar larangan tersebut, maka akan menanggung sendiri akibatnya.

Setelah mendengar keputusan para pucuk pimpinan dewa, maka gundah gulanalah rasa hati para bidadari itu. Terlebih-lebih ketujuh bidadari yang selalu turun ke bumi tiap bulan purnama tanggal keempat belas. Ketujuh bidadari itu kakak beradik. Adapun nama ketujuh bidadari itu masing-masing ialah:
Nawang Sasi,
Nawang Sari,
Nawang Lintang,
Nawang Dadar,
Nawang Langit,
Nawang Terang, serta si bungsu
Nawang Wulan.
Ketujuh bidadari kakak beradik itu amatlah sedih, karena tiada lama lagi bulan purnama tanggal keempat belas akan segera tiba. Dengan adanya larangan tersebut, maka mereka tidak dapat lagi turun ke bumi untuk mandi-mandi dan bersukacita.

Diantara tujuh bersaudara, yang paling sedih dan gundah gulana adalah Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Sebagai putri bungsu, Lalan memang sangat dimanja baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh kakak-kakaknya. Apa saja yang dikehendaki oleh si bungsu Putri Lalan itu, selalu dituruti oleh kedua orang tuanya.

Akan tetapi kali ini rupanya Putri Lalan amat sungguh kecewa. Sehari-hari kerjanya Putri Lalan hanyalah murung saja. Makan tiada hendak, diajak bermain pun menolak. Padahal keenam kakaknya itu sudah berusaha untuk menghibur dan membujuknya agar Putri Lalan mau makan serta tidak bermuram durja. Akan tetapi, Putri Lalan masih tetap menolak bujuk rayu dari keenam kakaknya.

Melanggar Larangan Dewa
Jikalau hati sudah terpikat, hasrat sudah menguat, beban hatipun terasa berat untuk meninggalkan hajat. Begitulah kiranya perasaan hati Lalan yang semakin menderita. Badannya pun semakin kurus, raut wajahnya yang dulu ceria pun kini terus memucat. Melihat si bungsu Lalan yang kian menderita, maka keenam kakaknya itupun mengadakan mufakat untuk menuruti apa yang menjadi kehendak adiknya itu. Maka segeralah keenam kakaknya itu mendekati Lalan.

"Duhai dindaku Lalan nan tercinta, sungguh nian keenam kakak ini tiada tega menatap dinda yang tiada berhenti menderita. Jikalau dinda terus bersedih, tentu kami berenam pun larut dalam kepedihan. Katakanlah dindaku, apa yang sesungguhnya dindaku kehendaki, maka pastilah kandamu berenam akan mendukungmu,” ujar Nawang Sasi yang mewakili saudara-saudara itu.

Mendengar ketulusan perkataan dari kandanya itu, maka berkatalah si bungsu Putri Lalan dihadapan keenam kakaknya; “Ya ayunda berenam nan baik budi, jikalau sungguh ayunda berenam hendak menuruti hasrat dinda, marilah kita bertujuh turun ke bumi. Sebab, dinda sungguh tiada bergairah hidup lagi, bilamana keinginan dinda ini tiada terpenuhi”.
Setelah saling bertatapan dengan penuh keharuan, keenam kakak-beradik itupun segera memeluk erat-erat si bungsu Putri Lalan secara bergantian. Ketujuh bidadari nan cantik jelita itupun bersepakat, seia sekata dan bertekad akan turun kebumi. Apapun akibat pelanggaran dari larangan para dewa itu, akan dihadapi bersama baik dalam duka nestapa maupun sukacita, dalam derita ataupun bahagia.

Turun ke Bumi
Hari berganti hari, waktu terus berlalu. Tak terasa bulan purnama tanggal empat belas pun menjelang tiba. Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh ketujuh bidadari itu untuk menuruti hasratnya. Perbekalan telah dipersiapkan, bunga-bunga kayangan pun tiada ketinggalan. Pertanda perjalanan menuju ke bumi hendak dimulai.

Setelah segala sesuatunya telah siap, maka ketujuh bidadari itupun segera turun ke bumi. Mereka bertujuh telah meninggalkan kayangan, melupakan pesan, serta melanggar larangan, demi mencapai tujuan, menuruti keinginan si bungsu Putri Lalan.

Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat tujuan. Bulak, tempat mandi-mandi dan bersukacita sudah dipelupuk mata. Hasrat dan kerinduan pun segera terlaksana. Ketujuh bidadari kakak-beradik itupun segera melepaskan pakaian terbangnya satu persatu.
Sebagaimana biasanya, Putri Lalan lah yang melepas pakaian terbangnya terlebih dahulu, lalu ditumpuki oleh pakaian kakak-kakaknya. Oleh karenanya pakaian Putri Lalan itu selalu berada paling bawah. Dengan demikian Putri Lalan lah yang paling duluan mandinya, dan selesainya pun paling belakangan. Mereka kemudian bersenang-senang menikmati mata air nan jernih, udara nan sejuk, serta pemandangan alam yang indah. Bunga-bunga kayangan pun bertaburan di sekitar pemandian, serta menyerbakkan bau wewangian yang harumnya sangat luar biasa.

Pakaian Terbang Putri Lalan Hilang
Jernih nian mata air rimba pegunungan, hawanya sejuk lagi nyaman. Siapapun gerangan yang datang, pastilah pantang untuk melupakan. Begitulah kiranya perasaan ketujuh bidadari yang sudah sering mandi di bumi. Terlebih si bungsu Putri Lalan yang sudah dimabuk kepayang, merindukan mata air rimba pegunungan.

Biasanya ketujuh bidadari nan cantik itu tiadalah berlama-lama mandinya. Tetapi, entah mengapa kali ini mereka begitu lama bersenang-senang, hingga tiada ingat lagi waktunya untuk terbang kembali ke kayangan. Dan biasanya pula, si bungsu Putri Lalan lah yang memberi isyarat untuk segera terbang kembali ke kayangan.

Malam semakin melarut hingga hampir fajar, ketujuh bidadari itupun menyadari akan waktunya. Tanpa menunggu isyarat dari si bungsu Putri Lalan, lalu bergegaslah mereka mengambil pakaian terbangnya. Oleh karena tumpukan pakaian Putri Lalan itu berada paling bawah, maka Putri Lalan lah yang paling belakangan mengambilnya.

Namun betapa terkejutnya si bungsu Putri Lalan, ketika melihat pakaian terbangnya sudah tidak tampak lagi. Pakaian si bungsu Putri Lalan telah hilang, sementara kakak-kakaknya sudah berpakaian terbang semua. Dilihatnya si bungsu Putri Lalan kebingungan mencari pakaian terbangnya, maka keenam kakaknya itupun segera ikut mencarinya. Setelah dicari kesana-kemari tiada hasilnya, maka menangislah ia tersedu-sedu. Keenam kakaknya pun turut meratapi nasib adiknya yang amat dicintai itu.

Perpisahan yang Mengharukan
Malang nian nasib si bungsu Lalan itu, karena telah kehilangan pakaian terbangnya. Isak tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Sementara batas waktu kian mengejarnya karena fajar sudah hampir tiba. Sungguh, bagaikan buah simalakama, meninggalkan si bungsu Putri Lalan sendirian tiadalah sampai hati, Bertahan di bumi lama-lama pun tiadalah mungkin. Akan tetapi, merekapun harus memilihnya.

Setelah termenung agak lama, lalu berkatalah dengan lirihnya si bungsu Putri Lalan itu kepada keenam kakaknya; “Duhai kanda-kandaku tercinta, memang sudah suratan nasib dinda, tiadalah bijak kandaku berlama-lama, karena ayah-bunda pastilah kecewa. Biarlah dinda menanggung akibatnya, jikalau kelak telah tertebus dosa, niscaya kita dapat bersama lagi.” Mendengar perkataan si Bungsu Putri Lalan yang amat mengharukan itu, menjawablah salah seorang dari keenam kakaknya. “Ya adindaku yang amat kusayang, tiadalah tega ayunda meninggalkanmu seorang. Andaikan ku dapat meminjamkan baju terbang, tentulah nasibmu tiada malang.”

Merekapun saling berpelukan erat disertai tetesan air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Tak seberapa lama kemudian, dengan hati yang pilu, keenam kakaknya itu pun lalu terbang meninggalkan Putri Lalan sendirian di tengah rimba belantara.

Si Pencuri Pakaian Terbang
Siapa sebenarnya yang mencuri pakaian terbangnya Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Pencurinya tiada lain adalah si Bujang Mengkurung. Rupanya, si Bujang Mengkurung itu sudah lama menunggunya, dan bersembunyi dibalik semak-semak.

Setelah diberitahu oleh Nenek Tua, tentang tempat pemandiannya para bidadari, maka timbullah hasrat hati si Bujang Mengkurung untuk melihatnya. Sejak pulang dari rumah nenek tua itulah ia menjadi seorang yang pemalas. Ia pun mulai jarang membantu kedua orang tuanya untuk menanam padi-padian, mencarikan ubi-ubian, berburu binatang, maupun memancing ikan.

Kedua orang tuanya menjadi terkejut melihat perubahan perangai anak tunggalnya itu. Kerjanya hanya menghitung hari dan bulan. Rupanya yang dipikirkan adalah menunggu datangnya bulan purnama. Maka. Berbulan-bulanlah ia memikirkannya. Bahkan ia sering termenung seorang diri di atas bebatuan.

Pada suatu ketika didekatilah si Bujang Mengkurung oleh kedua orang tuanya, kemudian bertanya; “Hai Jang, apakah gerangan yang dipikirkan, berharian di atas batuan, bermenung tanpa kawan. Kerja tak hendak, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak”. Maka menjawablah si Bujang Mengkurung; “Memang benar apa kata Ayah bunda, maafkan beta lupa bekerja, karena menunggu bulan purnama. Jikalau purnama menjelang tiba, izinkan lah beta ke talang nenek tua”. Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Ayah Bundanya pun menjadi maklum adanya.
Hari kian berlari, bulan pun silih berganti. Tak seberapa lama, tibalah saat yang dinanti-nanti. Tatkala bulan purnama hendak menjelang, Si Bujang Mengkurung pun berhati riang. Maka berpamitanlah kepada kedua orang tuanya untuk pergi berkelana.

Tak lama kemudian sampailah si Bujang Mengkurung di talang nenek tua itu. Oleh karena bulan purnama tanggal empat belas semalam lagi, maka Bujang Mengkurung itupun bermalam disana. Dan keesokan harinya, Bujang Mengkurung lalu ditunjukkan oleh nenek tua, tempat pemandian ketujuh bidadari itu.

Tepat tengah hari, sampailah mereka ke tempat tujuan. Setelah mengantar Bujang Mengkurung, nenek tua itupun segera kembali ke talangnya. Bujang Kesian kemudian mencari tempat untuk persembunyiannya.

Waktu terus berputar, malampun sudah menjalar. Dari balik semak belukar, sepasang mata terus mengincar. Perasaan mulai gusar, denyut jantung pun kian berdebar. Tiba-tiba muncul bola-bola sinar kian berpijar kian berbinar. Bagaikan sinarnya halilintar, seolah membakar alam sekitar. Badan kekarpun jadi gemetar, menatap sinar dari semak belukar. Tetapi dengan hati yang sabar, Bujang Mengkurung pun tak beranjak keluar.

Dibalik kemilaunya sinar cahaya, segeralah tampak wajah-wajah elok nan juwita. “Oi, rupanya ini yang namanya bidadri, indah nian mata memandangnya. Wuah, mereka sedang melucuti pakaiannya. Aduhai elok nian tubuhnya. Sungguh beruntung sekali jikalau dapat salah satu diantaranya. Tetapi bagaimana caranya? Barangkali aku harus mencuri pakaiannya,” gumannya dalam hati si Bujang Mengkurung dengan kedua matanya yang terus menatap.

Setelah berpikir sejenak , mulailah si Bujang Mengkurung itu merayap perlahan-lahan mendekati tumpukan pakaian ketujuh bidadari itu. Disaat ketujuh bidadari itu sedang terlena, si Bujang Mengkurung lalu mengambil salah satu pakaian yang paling bawah sendiri. Dan ternyata, yang diambil itu adalah pakaian bidadari Nawang Wulan (Putri Lalan). Setelah berhasil mengambilnya, lalu dimasukkan dalam bungkusan miliknya. Si Bujang Mengkurung pun segera menjauhi tempat pemandian bidadari itu, sambil memikirkan rencana selanjutnya.

Putri Lalan dan Bujang Mengkurung
Semenjak ditinggal terbang oleh kakak-kakaknya, Putri Lalan menjadi sebatang kara. Untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, dikumpulkannya kulit-kulit pohon yang lebar-lebar, serta tangkai-tangkai yang daunnya rimbun. Dengan hati yang pasrah Putri Lalan terus berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Belum seberapa lama berjalan, kaki Lalan sudah terasa kecapaian. Maklum, bidadari seperti Putri Lalan memang belum pernah berjalan sampai sejauh itu.
Setelah melepas kecapaian, Putri Lalan terus melanjutkan perjalanannya, dan tak seberapa lama kemudian, sampailah ia di rawa-rawa. Rupanya si Bujang Mengkurung sudah ada di tempat itu dengan santainya mengail ikan. Tanpa ragu-ragu, Putri Lalan pun segera mendekatinya, lalu bertanya; “Wahai tuan, sedang apakah gerangan yang tuan lakukan disini?” Dengan acuh tak acuhnya si Bujang Mengkurung itu menjawabnya; “Hamba sedang mengail ikan”. Lalan kemudian melanjutkan pertanyaannya; “Adakah tuan melihat pakaian terbang hamba?” Si Bujang Mengkurung itupun hanya menggelengkan kepala.

Oleh karena diliriknya Putri Lalan tiada berpakaian layak, maka disodorkannya sehelai kain. Putri Lalan pun segera menyambutnya dengan sukacita, seraya berkata; “Duhai tuan yang baik hati, tuan sudi memberikan kain ini kepada hamba. Sudah barang tentu hamba telah berhutang budi, dan rasanya hamba ingin sekali balasnya, tetapi tiada suatu apapun yang hamba miliki.” Mengkurung pun segera menyahutnya; “Ya tuan putri nan juwita sekali, tiadalah hamba menghutangkan budi. Tetapi kalau hendak balas memberi, berikanlah hamba sebuah cinta yang tulus hati.

Putri Lalan semula tiada menyangka arah perkataan Si Bujang Mengkurung. Setelah berpikir sejenak, Putri Lalan baru menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain, kecuali menyerahkan cintanya. Dan akhirnya Putri Lalan bersedia memberikan cintanya kepada Si Bujang Mengkurung itu.

Namun demikian, Putri Lalan mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh Si Bujang Mengkurung. Adapun syaratnya tidak terlalu berat. Pertama, jangan sekali-kali menyakiti hati Putri Lalan. Kedua, antara sepasang suami- isteri jangan menyimpan rahasia dan tak boleh membohongi. Mendengar persyaratan yang diajukan oleh Putri Lalan itu, Si Bujang Mengkurung pun menyanggupinya. Si Bujang Mengkurung berjanji tidak akan menyakiti hati Putri Lalan, dan juga tidak akan membohonginya.

Setelah saling berjanji, keduanya lalu saling bertatapan, dan segera berpelukan erat. Sejak saat itulah mereka saling menyayangi, mengasihi, dan mencintai. Bujang Mengkurung pun segera mengajaknya pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah Si Bujang Mengkurung, maka Putri Lalan segera memperkenalkan diri serta asal-usulnya. Mendengar penuturan Putri Lalan, maka kedua orang tua Si Bujang Mengkurung itupun menyambutnya dengan penuh kekaguman. “Sungguh beruntung sekali Bujang kita ini, pulang ke rumah membawa seorang bidadari,” bisik ayah Si Bujang Mengkurung kepada bininya. Ibu Si Bujang itupun balas membisik; “Ya, sebentar lagi kita akan punya menantu bidadari nan cantik jelita.”

Rupanya kedua orang tua Si Bujang Mengkurung telah sepakat untuk menikahkan anaknya. Tak lama kemudian, datanglah hari yang baik, maka Si Bujang Mengkurung dan Lalan segera dinikahkan. Oleh karena mereka hidup disebuah dusun yang terpencil, dan masih jarang penduduknya, maka upacara pernikahannya dilakukan dengan cara yang amat sederhana.
Putri Lalan pun akhirnya menjadi istri Si Bujang Mengkurung. Sebagai seorang istri, Putri Lalan selalu menunjukkan kesetiaannya kepada sang suami. Bahkan Putri Lalan terkesan amat rajin mengerjakan segala macam pekerjaan rumah. Kerjanya antara lain, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, dan memasak. Semua pekerjaan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan rasa tulus.

Melihat Putri Lalan yang tiap hari rajin membersihkan rumah, maka Si Bujang Mengkurung pun menjadi was-was. Takut kalau-kalau pakaian terbang yang disembunyikannya di kuda-kuda (langit-langit) di atap rumahnya itu diketemukan oleh istrinya. Oleh karena itu setiap Bujang Mengkurung hendak pergi ke ladang, selalu berpesan agar jangan membersihkan langit-langit atap rumah. Putri Lalan pun selalu menurut apa yang dipesankan oleh suaminya tanpa rasa curiga sedikitpun.

Waktu terus saja berlalu, bulanpun semakin cepat berjalan. Tak disadari jalinan cinta mereka telah membuahkan hasil. Ternyata perut Putri Lalan telah menunjukkan tanda-tanda kahamilan. Dilihatnya perut Putri Lalan telah mengandung, maka giranglah hati Si Bujang Mengkurung. Demikian pula ayah-bundanya.

Setelah berjalan sembilan bulan sepuluh hari, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil. Suami-istri serta kedua orang tua Si Bujang Mengkurung segera menyambutnya dengan sukacita. Setelah dimandikan dan di bersihkan, bayi laki-laki yang mungil dan lucu itupun segera disusuinya, serta dibelainya dengan penuh kasih sayang. Si Bujang Mengkurung dan kedua orang tuanya pun juga sering menimang-nimang serta membuainya secara bergantian.

Rahasia Terbongkar
Semenjak Lalan menjadi seorang ibu, pekerjaan Putri Lalan semakin bertambah banyak. Selain memasak, mencuci pakaian, melayani suami, dan membersihkan rumah serta pekarangan, juga masih merawat, mengurus, dan membesarkan anak. Namun demikian, tiada menjadikan Putri Lalan sebagai seorang ibu yang malas, bahkan Putri Lalan semakin rajin kerjanya. Akan tetapi setiap akan membersihkan langit-langit rumah, selalu dilarang oleh Mengkurung. Padahal langit-lagit rumah itu semakin kotor, karena tidak pernah dibersihkan.

Lama-kelamaan perasaan Putri Lalan menjadi semakin tidak enak, bahkan kian bertambah curiga kepada suaminya. Ia pun sering bertanya-tanya dalam hati. Adakah gerangan yang disembunyikan, jangan-jangan ada sesuatu hal yang dirahasiakan oleh suamiku. Bukankah suamiku pernah berjanji untuk tidak menyakitiku? Pikirnya dalam hati. Sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh jua. Serapat-rapatnya rahasia tentang kejahatan, suatu ketika akan terbongkar juga dengan sendirinya.

Pada suatu hari, tatkala Si Bujang Mengkurung sedang ada di ladang, tiba-tiba timbul niat untuk membersihkan langi-langit rumah yang amat kotor itu. Maka, segeralah Putri Lalan mengambil tangga untuk naik ke langit-langit rumah. Setelah tangga itu dipasang, lalu naiklah ia sambil membawa sapu lidi. Beberapa saat kemudian sampailah Putri Lalan di atap rumah. Maka mulailah ia membersikan seluruh debu dan kotoran yang menempel di langit-langit rumah itu. Ketika Putri Lalan sedang menyapu di bagian kuda-kuda (kaki penyangga langit-langit rumah) terlihatlah olehnya seberkas bola sinar yang berpijar amat terang.

Putri Lalan terkejut sekali, bahkan hampir saja terjatuh. Setelah didekati dan diperiksa dengan penuh hati-hati, ternyata hanyalah sepotong bambu besar yang panjangnya sekitar satu lengan. Tetapi bambu itu sangat aneh karena memancarkan sinar yang amat terang.

Oleh karena rasa penasaran ingin tahu isinya, maka bambu itupun segera dibukanya. Betapa terkesimanya Putri Lalan, karena isinya ternyata sehelai pakaian terbangnya yang telah hilang tak tertentu rimbanya. Seketika raut wajahnya yang semula agak pucat itu telah berubah menjadi ceria. Pakaian terbangnya itu segera dipegangnya erat-erat, lalu segera dibawanya turun. Kemudian bergegas ia menyembunyikan pakaian terbangnya itu. “Tiada sangka aku bisa menemukan pakaian terbangku kembali. Inilah rupanya rahasia yang disimpan oleh suamiku,” gumannya dalam batin.

Tak lama kemudian pulanglah Si Bujang Mengkurung dari ladangnya. Seperti biasanya, Putri Lalan pun segera menyiapkan makanan untuknya. Hal itu sengaja dilakukan agar suaminya tiada menaruh curiga kepadanya. Pada saat itulah Putri Lalan sengaja mencoba mengutarakan keinginannya lagi untuk membersihkan langit-langit rumah. Tetapi Bujang Mengkurung masih tetap melarangnya. Ketika Putri Lalan menanyakan sebab musababnya, tiba-tiba Bujang Mengkurung sangat marah dan membentaknya keras-keras.

Putri Lalan yang belum pernah diperlakukan kasar seperti itu, lalu menangis tersedu-sedu, seraya berucap ; “Mengapa kanda tega membentak dinda yang selalu setia, bukankah kanda pernah berjanji takkan menyakiti hati dinda”? Bujang Mengkurung pun membalasnya; “Jikalau dinda tiada memulai, tentu kandapun tiada memarahi. Maka kanda ingatkan, jangan lagi dinda menanyakan apa yang aku larangkan.

Mendapat jawaban yang tak diharapkan itu, hati Lalan semakin remuk redam. Namun demikian Putri Lalan masih merahasiakan hasil temuannya. Putri Lalan hanya ingin menguji sampai dimana ketulusan dan kejujuran suaminya itu. Oleh karena dinilainya sudah tidak jujur dan tulus lagi, maka Putri Lalan berniat akan meninggalkannya.

Sejak kejadian itulah tiba-tiba Putri Lalan jadi rindu kepada Ayah Bundanya, serta kakak-kakaknya di kayangan. “Barangkali memang sudah tertebus dosa-dosa hamba, maka sudah saatnya pula hamba harus kembali ke kayangan,” tekadnya dalam hati. Pada keesokan harinya, setelah Bujang Mengkurung pergi berladang, Putri Lalan pun mempersiapkan diri, hendak meninggalkan sang suami. Baju terbangnya telah disandang, anaknya pun digendong belakang. Maka segeralah ia menemui Si Bujang Mengkurung yang sedang berladang.

Bujang Mengkurung pun terkejut melihat Putri Lalan datang dengan memakai baju terbangnya sambil menggendong anaknya. Belum sempat Bujang Mengkurung bertanya, Putri Lalan pun telah mendahului berkata; “Wahai Kanda tersayang, kini tibalah saatnya perpisahan. Dinda bersama anakanda hendak kembali ke kayangan, meninggalkan kanda seorang. Jikalau Kanda kelak rindu nian, pandanglah saja dari kejauhan, karena dinda berdua dalam rembulan.” Putri Lalan pun segera terbang pelan-pelan, meninggalkan Bujang Mengkurung.

Setelah dilihatnya Putri Lalan terbang bersama anaknya, maka menjeritlah keras-keras Si Bujang Mengkurung: “Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! ( belek artinya kembali).

Kembali ke Kayangan
Ceriteranya, tatkala keenam kakak-kakak Putri Lalan itu sampai di kayangan, maka segeralah mereka berenam menghadap Ayah Bundanya. Apapun yang akan menimpanya, mereka sudah pasrah dan siap menerima hukuman. Keenam kakak beradik itu telah memaklumi, bahwa kasih sayang Ayah Bundanya terhadap si bungsu Putri Lalan amatlah sangat mendalam. Oleh karenanya, merekapun tentunya mendapat marah dan hukuman yang berat.

Benarlah apa yang telah mereka ramalkan berenam. Setelah mendengar cerita keenam anaknya, dan tidak melihat Putri Lalan di hadapannya, maka terkejutlah Ayah Bundanya. Bahkan karena amat sayangnya, Bundanya pun terus jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sedangkan Ayahandanya meluapkan amarahnya kepada mereka berenam. Kemudian mereka berenam tidak diperbolehkan masuk rumah, hingga adiknya Putri Lalan kembali lagi ke kayangan.

Maka sejak itulah, keenam kakak beradik pun hidupnya terlantar. Kerjanya tiap hari hanya termenung sambil berdendang pilu, meratapi si bungsu Putri Lalan yang amat dicintainya. “Oi, Putri Lalan belek ne asoak, tumitne awea teno desoak”, begitulah dendang pilunya keenam kakak Putri Lalan.

Mereka sangat menyesal karena telah menuruti keinginan adiknya yang ternyata berakibat sangat fatal. Apa gunanya penyesalan, jikalau sudah kejadian. Padahal para dewa telah membuat larangan, itulah akibat dari pelanggaran.

Setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba Putri Lalan muncul dihadapan kakaknya. Mereka terperanjat melihat si bungsu Putri Lalan kembali dengan menggendong anak di belakangnya. Oleh karena sudah menanggung rindu yang amat mendalam, maka merekapun segera menyambutnya dengan sukacita, serta saling berebut duluan untuk memeluk putri Lalan erat-erat.

Keenam kakaknya itu kemudian berlari menghadap Ayah Bundanya, seraya berteriak dengan kerasnya; “nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek, nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek! (Ayah- Bunda! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang ! nek inok! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang !). Setelah melihat kembali si bungsu Putri Lalan yang telah lama menghilang, maka kedua Ayah Bundanya pun menyambutnya dengan girang bercampur haru.


Diceritakan kembali oleh :
Agus Setiyanto Z

Back Link :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/02/putri-lalan-asal-usul-lagu-lalan-belek.html

Admin :
Adapun Bujang Mengkurung sejak di tinggalkan istrinya Lalan sangat bersedih hati. Rasa menyesal telah berbohong dan memarahi istrinya sangat membuat semakin rindu kepada Lalan. Rasa sedih hati dan kerinduan Bujang Mengkurung di inspirasikan dengan lagu rakyat berjudul Lalan Belek. Text lagu lalan belek bisa di baca di Link

Putri Serindang Bulan

Posted by Yayux at 4:41 AM 0 comments
Cerita Rakyat dari Tanah Rejang

Putri Yang Malang

Tersebutlah dalam kisah, pada zaman dahulu sebelum ada nama Muara Ketahun, ada nama Sungai Serut. Setelah ditinggali oleh Putri Serindang Bulan, selama setahun, maka dinamailah wilayah itu Muara Setahun (sekarang Ketahun).

Konon pada zaman dahulu ada seorang putri raja yang cantik jelita bernama Putri Serindang Bulan. Oleh karena kecantikannya yang tiada taranya, maka banyak orang yang jatuh hati kepadanya. Sudah banyak pemuda yang tertambat hatinya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan. Tetapi Putri Serindang Bulan sendiri belum memikirkan untuk hidup berumah tangga. Walaupun pada saat itu, usia Putri Serindang Bulan sudah cukup dewasa untuk hidup berkeluarga.
Sebagai anak bungsu, Putri Serindang Bulan selalu menunjukkan rasa hormatnya kepada keenam kakak kandungnya. Karena keenam kakak kandungnya belum juga menikah, maka Putri Serindang Bulan tidak mau mendahului. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan belum bersedia menerima pinangan.

Tentu saja sikap Putri Serindang Bulan itu mengecewakan banyak orang, termasuk pula keenam kakaknya. Keenam kakak kandungnya merasa kecewa dan menanggung malu, karena adiknya tidak mau segera menikah. Padahal keenam kakaknya berniat kawin beleket, setelah Putri Serindang Bulan menikah dahulu. Oleh sebab itulah, pada suatu hari dipanggilnya Putri Serindang Bulan oleh keenam kakaknya.
Di sebuah Balai Panjang Istana, duduklah berkumpul tujuh kakak beradik mengadakan rapat keluarga. Dalam rapat tersebut, keenam kakaknya mendesak agar Putri Rindang Bulan segera menikah. Sebagai adik bungsu yang selalu hormat kepada kakak-kakaknya, Putri Serindang Bulan pun tak kuasa menolaknya. Walaupun dalam hati sebenarnya, Putri Serindang Bulan belumlah menemukan jodohnya.
Rupanya sikap Putri Serindang Bulan yang sudah lunak itu segera tersiar keseluruh penjuru wilayah kerajaan. Tentu saja banyak yang menyambutnya dengan sukacita. Terlebih anak para raja yang sudah lama memendam rasa cintanya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan.
Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari seorang Pangeran Muda yang tampan menghadap Sang Baginda Raja Wawang. Kedatangannya tak lain bermaksud mempersunting Putri Serindang Bulan yang terkenal eloknya. Raja Wawang dan keenam kakak-kakaknya itupun segera menerima dengan penuh suka cita. Maka, segeralah disusun rencana hari bimbangnya.
Ketika dipertemukan kedua calon mempelai, tiba-tiba paras Putri Serindang Bulan yang semula cantik berubah amat buruk. Wajah dan kulit Putri Serindang Bulan telah terkena penyakit kusta yang menjijikkan. Dilihatnya wajah Putri Serindang Bulan yang amat menjijikkan itu, maka bergegaslah Pangeran Muda itu meninggalkan Balai bimbang. Utusan Pangeran Muda itupun segera membatalkan acara pernikahan, dan pulang dengan hati kecewa.
Apa hendak dikata, jikalau batang sudah berarang, itulah kenyataannya. Keluarga Raja Wawang dan keenam kakaknya pun tak dapat menyalahkan pembatalan utusan Pangeran Muda itu. kecuali hanya menanggung malu dan rasa sedih akan kejadian yang sungguh diluar jangkauan akal manusia.
Akan tetapi, tak lama kemudian setelah para utusan itu pulang, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan itu hilang seketika. Wajah dan kulit yang buruk dan menjijikkan itu kini telah menjadi bersih dan cantik kembali. Raja Wawang dan keenam kakaknya menyambutnya dengan gembira. Dan kabar telah sembuhnya Putri Serindang Bulan dari penyalit kusta itu pun segera menyebar ke segala penjuru kerajaan.
Pada hari berikutnya, datanglah seorang pemuda gagah dan tampan bersama rombongannya masuk ke istana. Pemuda dan rombongannya itu segera menyatakan maksudnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Perundingan segera dilakukan, acara bimbang pun telah diserapatkan.
Suatu hari ketika kedua mempelai dipertemukan, kejadian aneh terulang kembali. Tiba-tiba wajat dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan. Semua yang melihat sangat terkejut, terlebih calon mempelai laki-laki. Setelah dilihatnya seluruh wajah dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan, maka berlarilah calon mempelai laki-laki itu meninggalkan Balai Panjang Istana. Demikian juga dengan rombongannya. Maka batallah rencana perkawinan Putri Serindang Bulan untuk kedua kalinya. Keluarga Raja Wawang beserta keenam kakaknya pun menanggung rasa malu yang amat besar.
Peristiwa itu sungguh luar biasa anehnya. Sebab begitu dibatalkan, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan hilang seketika. Wajah dan kulitnya yang amat buruk dan menjijikkan itu telah kembali seperti semula. Bahkan wajah dan kulitnya pun tak berbekas sedikitpun. Peristiwa itu sungguh mentakjubkan banyak orang.
Peristiwa itu terus terjadi tanpa disadarinya. Jikalau dihitung, sudah ada sembilan orang yang membatalkan pernikahannya dengan Putri Serindang Bulan. Raja Wawang dan keenam kakaknya pun kian lama kian murka dibuatnya. Keenam kakaknya pun mulai menaruh curiga buruk terhadap adik bungsunya, Putri Serindang Bulan.

Dibuang Setahun

Akibat pembatalan pernikahan yang terus menerus itu, hubungan antara Putri Serindang Bulan dengan keenam kakaknya itu semakin jauh. Putri Serindang Bulan mulai dimusuhi oleh kakak-kakaknya. Bahkan ada yang berniat untuk menyingkirkannya, karena dianggap menjadi sumber petaka bagi keluarga kerajaan.
Pada suatu hari berkumpullah keenam kakaknya di sebuah ruangan istana yang dirahasiakan. Pertemuan keenam kakak-kakaknya itu membahas rencana menyingkirkan adik bungsunya. Salah satu kakaknya mengusulkan agar adik bungsunya di bawa ke hutan lalu dibunuhnya. Kemudian diusulkan pula, bahwa yang membawa si bungsu itu sebaiknya Karang Nio. Sebab, Karang Nio adalah kakak si bungsu yang kelima, yang dinilai lebih dekat dengan adik bungsunya.
Semula Karang Nio keberatan dengan usulan kakak-kakaknya yang merencanakan akan membunuh si bungsu. Tetapi karena yang lainnya menyetujui, maka Karang Nio tak dapat berbuat banyak kecuali melaksanakannya. Kemudian dibuat kesepakatan sebagai tanda bukti, bahwa Karang Nio harus membawa setabung darah si bungsu, dan bukti penigasan (irisan) bagian telinganya.
Setelah segala sesuatunya telah dipersiapkan, maka pergilah Karang Nio menemui adiknya si bungsu Putri Serindang Bulan. Kemudian diajaknya Putri Serindang Bulan pergi jalan-jalan. Putri Serindang Bulan mulanya tak menaruh curiga kepada kakaknya, tetapi setelah perjalanannya semakin jauh masuk ke hutan, perasan Putri Serindang Bulan semakin takut tak karuan.
Setibanya di tengah hutan, Karang Nio segera mengajak Putri Serindang Bulan untuk beristirahat sejenak. Disaat beristirahat itulah, Putri Serindang Bulan bertanya kepada kakaknya. “Tiadalah pernah sekali-kali kakak membawaku sampai sejauh ini. Adakah gerangan hingga kakak membawaku ketengah hutan yang amat sunyi ini?” Mendengar pertanyaan yang amat menyentuh hati itu, tiadalah Karang Nio mampu menjawab barang sepatah katapun. Bibirnya seperti terkunci rapat, hingga tak keluar suara sedikitpun dari rongga mulutnya. Dalam lubuk hati yang terdalam, Karang Nio sungguh tiada sanggup untuk membunuh adik bungsunya.
Setelah dipikirkannya masak-masak, lalu berceritalah Karang Nio kepada adik bungsunya. Dikatakannya terus terang, bahwa ia disuruh oleh kakak-kakaknya untuk membunuh Putri Serindang Bulan. Kakak-kakaknya merasa menanggung malu akibat perbuatan si bungsu. Untuk menghapus rasa malu, maka diputuskan untuk membunuh Putri Serindang Bulan di tengah hutan. Dan kelak jikalau kakak kembali harus membawa tanda buktinya, irisan sebagian dari telinganya.
Mendengar pengakuan tulus dari kakaknya itu, Putri Serindang Bulan segera menyadari akan nasibnya. Maka berkatalah Putri Serindang Bulan dengan bijaknya: “Jikalau demikian adanya, lakukanlah segera kanda. Adik serahkan sepenuhnya nyawa ini kepada kakanda.” Maka Karang Nio pun segera membalasnya, “Sungguh hati kecil kakanda tiadalah tega untuk melakukannya. Sebab, kakanda amat kasih dan sayang semata kepada adinda.”
Setelah berpikir sejenak, Karang Nio lalu memotong seekor anjing. Darah anjing itu kemudian ditempatkan pada sebuah tabung yang dibawanya. Maka berkatalah kepada adiknya; “inilah bukti yang akan aku tunjukkan kepada mereka. Oleh karena harus ada tanda bukti lain, maka izinkanlah kakanda melukai barang sedikit daun telinga sebelah belakang adinda. Kelak jikalau kita dipertemukan kembali, kakanda dapat menemukan tanda itu pada diri adinda. Sebaliknya, kakanda juga akan melukai telunjuk jari kakanda sendiri, sebagai tanda pengingat pada adinda.”
Kemudian Karang Nio mengajak Putri Serindang Bulan pergi menuju ketepian sungai keramat Ulau Deus. Karang Nio segera membuat rakit untuk melepas Putri Serindang Bulan. Setelah rakit jadi, lalu dilepaslah Putri Serindang Bulan hingga terbawa arus sungai.
Konon ceritanya setiap daerah yang dilewati Putri Serindang Bulan itu menjadi sebuah dusun. Maka jadilah sebuah dusun yang bernama Dusun Raja. Tak terasa setahun sudah Putri Serindang Bulan menyisiri sungai dengan rakitnya. Setelah sampai di sebuah muara, maka diberilah nama daerah dengan itu nama Muara Setahun ( sekarang menjadi Ketaun).
Setibanya di muara Setahun, Putri Serindang Bulan segera menaikkan rakitnya ketepian sungai. Selanjutnya Putri Serindang Bulan menaiki tebing dan membuat tempat tinggal disana. Tempat tinggal Putri Serindang Bulan diatas tebing itu, kemudian diberi nama Tepat Masat. Di tempat inilah Putri Serindang Bulan tinggal dalam waktu yang cukup lama.

Bertemu Raja Indrapura

Pada suatu ketika, ada sebuah perahu yang melewati muara sungai Setahun. Pemilik perahu itu adalah seorang raja dari Indrapura yang bernama Tuanku Raja Alam. Ketika perahu melewati muara, Tuanku Alam Raja melihat cahaya kemilau yang memancar di atas tebing. Oleh karena rasa penasarannya, maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati dan menaiki tebing itu.
Sesampainya di atas tebing, cahaya yang kemilau itu tiba-tiba hilang, dan yang ada hanyalah sebuah bangunan rumah. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati bangunan rumah itu, lalu mengetuk pintunya. Tak lama kemudian, muncullah Putri Serindang Bulan dari dalam rumah itu. Tuanku Raja Alam sangat terkejut melihat Putri Serindang Bulan yang memiliki paras nan elok dan jelita.
Keduanya pun saling berkenalan. Kemudian Putri Serindang Bulan menceritakan asal mula kejadiannya hingga terdampar di muara Sungai Ketahun. Mendengar penuturan kisah Putri Serindang Bulan yang amat lembut itu, Tuanku Raja Alam menjadi terharu dan kian terpikat olehnya. Tuanku Raja Alam juga menceritakan tentang kegemarannya pergi berburu kehutan-hutan, hingga akhirnya bertemu dengan Putri Serindang Bulan.
Setelah keduanya saling bercerita, Tuanku Raja Alam kemudian mengutarakan niatnya untuk membawa Putri Serindang Bulan ke istana Indrapura. Putri Serindang Bulan pun menyambutnya dengan penuh sukacita. Maka segeralah mereka berangkat menuju istana kerajaan Indrapura.

Calon Permaisuri Raja

Tak seberapa lama kemudian, tibalah rombongan Tuanku Raja Alam bersama Putri Serindang Bulan di istana kerajaan Indrapura. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mengumpulkan para hulubalang, serta memanggil empat penghulu kerajaan untuk mengadakan kerapatan.
Di hadapan para pembesar dan empat penghulu kerajaan Indrapura, Putri Serindang Bulan segera menceritakan kembali kisah sedih hidupnya hingga akhirnya bertemu dengan Tuanku Raja Alam. Mendengar kisah hidup Putri Serindang Bulan itu, para pembesar kerajaan beserta empat penghulu menjadi terharu karenanya.
Tuanku Raja Alam kemudian menyatakan niatnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Oleh karena takut akan terjadi peristiwa yang sama, maka empat penghulu itu minta waktu tiga hari. Setelahj genap waktu tiga hari, maka menghadaplah keempat penghulu itu. mereka menyetujui perkawinanTuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan. Dan menjamin tidak akan terjadi apa-apa, karena Tuanku Raja Alam sudah mempunyai enam orang istri. Tetapi untuk terlaksananya sarana adat perkawinan itu, wali dari calon mempelai harus didatangkan. Itulah sa;ah satu syarat yang harus dilaksanakan agar perkawinan itu sah adanya. Setelah mendapat keterangan dari keempat penghulu itu, Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya.

Bimbang Besar

Tak seberapa lama lagi, kerajaan Indrapura akan menyelenggarakan acara pesta pernikahan antara Tuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan secara besar-besaran. Menurut adat tradisi yang berlaku di kerajaan Indrapura, pesta pernikahan secara besar-besaran itu disebut bimbang besar atau bimbang gedang.
Sesuai dengan syarat adat yang berlaku di negeri itu, calon wali mempelai wanita harus dihadirkan sebagai wali saksi. Oleh sebab itulah, Putri Serindang Bulan segera mengirim kabar kepada ayahanda dan keenam kakaknya.
Raja Wawang dan keenam kakaknya sangat terkejut mendapat kabar bahwa si bungsu Serindang Bulan masih hidup. Bahkan keluarga kerajaan merasa senang mendapat kabar Putri Serindang Bulan akan dipersunting oleh Tuanku Raja Alam dari kerajaan Indrapura. Ingin rasanya Raja Wawang menghadiri acara bimbang besar di kerajaan Indrapura.
Akan tetapi, apa hendak dikata. Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Oleh karena usianya yang sudah lanjut, maka Raja Wawang tak dapat menghadiri acara bimbang besar putrinya. Maka Raja Wawang segera mengutus keenam anaknya (kakak-kakak Putri Serindang Bulan) untuk mewakili pernikahan si bungsu.
Pada hari yang telah disepakatkan, berangkatlah keenam kakak Putri Serindang Bulan ke negeri Indrapura. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya tibalah mereka di negeri Indrapura. Sesampainya di istana kerajaan Indrapura, mereka segera menghadap Tuanku Raja Alam. Setelah memperkenalkan diri, mereka lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Mereka bermaksud meminta uang beleket, yaitu uang tebusan sebagai pengganti si bungsu yang akan diambil oleh Tuanku Raja Alam.
Mendengar permintaan keenam kakak Putri Serindang Bulan itu, Tuanku Raja Alam akan mengabulkan permintaan kakak beradik itu, dengan syarat mereka harus dapat mengenali Putri Serindang Bulan.
Apabila mereka masih dapat mengenali Putri Serindang Bulan, Tuanku Raja Alam akan memenuhi permintaannya, dan akan diberi berbagai macam hadiah.
Sebaliknya, jikalau tak satu pun dari mereka yang bisa menebak, maka uang beleket itu tak akan diberikan. Bahkan Tuanku Raja Alam mengancam akan menghukum mereka. Karena sudah kepalang basah, maka mereka pun menyatakan kesediaannya.
Tak seberapa lama. Tuanku Raja Alam segera memanggil tujuh wanita yang wajahnya mirip dengan Putri Serindang Bulan untuk dihadapkan kepada mereka.
Keenam kakak-beradik itupun segera mengamati satu persatu ketujuh wanita yang amat jelita parasnya. Kakak yang pertama menyerah, karena tidak dapat mengenali lagi wajah si bungsu Putri Serindang Bulan. Selanjutnya, disusul oleh kakak keduanya. Kakak keduanya juga tidak mampu mengenali lagi wajah si bungsu adiknya.
Kini giliran kakak yang ketiga. Ternyata kakak yang ketiga pun tak mengenal lagi mana adiknya yang sebenarnya. Demikian juga kakak keempat dan kelima. Keduanya sama-sama tidak mampu menebaknya. Suasanapun menjadi amat menegangkan, perjanjian sudah disepakati bersama. Jikalau tak satupun ada yang bisa menebak siapa adiknya, maka tamatlah riwayat mereka, sebab mereka akan dibunuhnya.
Kini mereka bergantung kepada Karang Nio. Ketika giliran jatuh pada Karang Nio, yaitu kakaknya yang keenam, Karang Nio tiba-tiba teringat pada peristiwa masa silam. Bahwa ia pernah memberikan sebuah tanda pada diri adiknya, yaitu dengan melukai daun telinga adiknya dibagian belakang. Maka, segeralah Karang Nio memeriksa satu-persatu daun telinga ketujuh wanita itu. ketika Karang Nio memeriksa daun telinga salah satu dari ketujuh wanita itu, ternyata diketemukan sebuah tanda. Setelah Karang Nio dapat menemukan tanda itu, maka Karang Nio semakin yakin bahwa wanita itu tidak lain adalah si bungsu Putri Serindang Bulan. Karang Nio pun segera menghadap Tuanku Raja Alam. Lalu berkata : “Tuanku Raja Alam, inilah si bungsu hamba Putri Serindang Bulan. Sebab hambalah yang memberikan tanda itu, sebelum hamba menghanyutkannya ke sungai.” Kemudian Karang Nio kembali lagi mendekati Putri Serindang Bulan, seraya berkata: ”Oi Dindaku sayang engkau seorang, kini jodoh sudah ada di depan. Tentunya, Dinda pun telah mengenali kami.” Karang Nio pun segera memperlihatkan tanda pengenal, yaitu luka yang ada pada telunjuk jarinya.
Kedua kakak beradik itupun segera berangkul melepas rasa rindu. Melihat kedua kakak beradik yang telah bertemu, maka suasana dalam istana karajaan Indrapura seketika menjadi penuh haru. Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya. Maka, legalah hati kakak beradik itu, karena tidak jadi dihukum oleh sang raja. Tuanku Raja Alam pun tiada jadi menghukumnya. Sebaliknya, Tuanku Raja Alam segera membayar uang jujur sebesar enam ruas bambu emas kepada masing-masing kakak beradik Putri Serindang Bulan itu.
Pesta perkawinan antara Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan pun segera diadakan. Bimbang besar telah digelar selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Seluruh rakyat negeri itu pun turut bersuka cita menyambut acara bimbang besar. Segala perabot bimbang. Musik gong, kulintang, redap, dan gendang pun dibunyikan bertalu-talu. Tua muda, bujang dan gadis pun turut mengisi berbagai macam tarian.

Muara Urai

Usai pelaksanaan bimbang besar, keenam kakak beradik itu segera berpamitan kepada Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Mereka pulang dengan masing-masing membawa setabung bambu berisi emas. Tetapi sayang tabung bambu berisi emas itu jatuh di dasar laut, ketika biduk yang ditumpanginya pecah di tengah laut. Kecuali tabung bambu emas milik Karang Nio. Kemudian mereka mendarat di Serangai, dan terus berjalan menyisiri sebuah muara. Disanalah mereka saling bertikai dan berebut tabung emas milik Karang Nio yang selamat. Ketika mereka saling berebut, tabung emas milik adiknya itupun jatuh terurai. Tempat jatuhnya emas yang terurai itu, kemudian dinamakan Muara Urai. Melihat emas telah jatuh terurai, maka segeralah mereka berebut mendapatkannya. Akhirnya mereka pun mendapat bagian emas dari adiknya.
Setelah mendapatkan emas secukupnya, kemudian mereka saling berpisah. Adiknya yang keenam, yaitu Karang Nio segera menuju ke sebuah tempat yang dianggapnya aman dari segala gangguan. Akhirnya sampailah Karang Nio tiba di sebuah muara dan menetap disana. Tempat menetap Karang Nio itu kemudian diberi nama Muara Aman.

Melahirkan Anak Calon Raja

Sementara itu kehidupan Putri Serindang Bulan, tampak selalu bahagia. Meskipun raja sudah memiliki enam orang isteri, tetapi perhatian dan kasih sayangnya lebih banyak dicurahkan kepada Putri Serindang Bulan. Karena Putri Serindang Bulan adalah permaisurinya. Sedangkan yang lainnya hanyalah isteri selirnya.
Waktu terus berlalu dengan cepatnya. Jalinan kasih sayang Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan kian menunjukkan buahnya. Tak seberapa lama, maka mengandunglah Putri Serindang Bulan. Tuanku Raja Alam pun menerimanya dengan amat suka citanya. Setelah menuju kesembilan bulan lewat sepuluh hari, Putri Serindang Bulan pun akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu kemudian diberi nama Raja Bendar Panglimo Koto.
Sebagai ibu yang amat kasih dan sayang kepada anaknya, maka Putri Serindang Bulan tak henti-hentinya membuai dan menimang-nimang si kecil Raja Bendar Panglimo Koto. Walaupun sudah ada segenap inang dan dayang-dayang kerajaan yang siap mengasuh dan melayani si kecil, tetapi Putri Serindang Bulan lebih senang merawat dan mendidiknya sendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak mau menyerahkan anaknya kepada inang dan dayang-dayangnya.
Rupanya Putri Serindang Bulan ingin sekali agar si kecil Raja Bendar Panglimo Koto kelak hingga dewasa selalu menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dibawah asuhan kasih sayang ibundanya, Raja Bendar Panglimo Koto semakin tumbuh dan berkembang menjadi seoarng anak remaja dengan kepribadian yang baik.

Menjadi Raja di Ketahun

Setelah beranjak dewasa, Tuanku Raja Alam berkehendak agar Raja Panglimo Koto dapat menggantikan kedudukannya menjadi raja di Indrapura. Akan tetapi, sang anak yang telah mendapatkan pendidikan dan ajaran ibunya, tidak ingin mengharap warisan sang ayah. Raja Bendar Panglimo Koto, lebih senang jikalau dapat dengan bebas menentukan nasib jalan hidupnya sendiri.
Atas kebijaksanaan Putri Serindang Bulan, Raja Bendar Panglimo Koto kemudian disuruhnya pergi ke daerah Ketahun untuk membuat dusun. “Duhai Anakanda pujaan Bunda, jikalau Anakanda hendak merantau di negeri lain dan ingin menjadi raja di sana, maka pergilah ke Ketahun. Kelak anakanda akan menjadi raja disana. Sebab ibunda pernah tinggal berlama di sana”. Mendengar penuturan ibunya yang penuh bijaksana itu, maka semakin terbukalah tekad Raja Bendar Panglimo Koto
Pada hari yang baik, maka berpamitlah Raja Bendar Panglimo Koto kepada kedua orang tuanya. Tuanku Raja Alam pun tak kuasa menahan keinginan anaknya. Sebagai orang tua yang amat sayang kepada anaknya, tentu saja Tuanku Raja Alam tidak ingin anaknya mendapat kesulitan dijalan. Oleh sebab itulah, Tuanku Raja Alam memerintahkan hulubalang dan anak buah secukupnya untuk turut menyertai keberangkatan anaknya. Segala macam bekal keberangkatan juga telah dipersiapkan oleh Putri Serindang Bulan.
Sebelum berangkat, Putri Serindang Bulan berpesan kepada anaknya, agar kelak setelah berhasil membuat dusun disana, segera memberikan kabar ke Indrapura. Putri Serindang Bulan juga berjanji, jikalau kelak Raja Bendar Panglimo Koto telah menjadi raja disana, maka ibunya akan segera datang berkunjung.
Setelah segala macam bekal telah dipersiapkan, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mohon do’a restu kedua orang tuanya untuk merantau ke negeri Ketahun. Dengan disertai do’a restu oleh kedua orang tuanya, berangkatlah Raja Bendar Panglimo Koto beserta anak buahnya menuju Muara Ketahun.
Perjalanan yang amat panjang dan penuh rintangan, memerlukan semangat dan perjuangan yang keras. Dengan semangat dan perjuangan yang keras itulah pada akhirnya rombongan Raja Bendar Panglimo Koto sampai di Muara Ketahun. Sesampainya disana, kemudian ia mendirikan sebuah dusun yang diberi nama Dusun Muara Dua ( sekarang Kualalangi ). Dan dusun itu kemudian berkembang menjadi sebuah negeri yang amat subur dan makmur. Disitulah Raja Bendar Panglimo Koto memerintah rakyatnya dengan amat bijaksananya.
Sementara itu, anak buahnya yang menyertai dari negeri Indrapura disuruh menempati dusun disebelahnya, yaitu Dusun Raja. Dusun itulah yang dulu pernah disinggahi Putri Serindang Bulan ketika hanyut terbawa oleh arus sungai yang amat deras.
Sesuai dengan pesan ibundanya, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mengirim utusan ke negeri Indrapura untuk mengabarkan tentang keberhasilannya membangun sebuah dusun. Di damping itu, Raja Bendar Panglimo Koto juga membawakan bermacam bingkisan untuk kedua orang tuanya.
Setelah menempuh perjalanan yang amat jauh, sampailah utusan dari negeri Muara Dua itu di negeri Indrapura. Maka segera menghadap Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Kemudian diceritakan kabar baik tentang Raja Bendar Panglimo Koto yang kini telah menjadi raja di negeri Muara Dua. Mendengar kabar baik dari anaknya, Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan menjadi amat suka cita hatinya.

Dari Indrapura Hingga Ketahun

Putri Serindang Bulan pun teringat akan janjinya. Sebagai seroang ibu yang amat bijak dan berpegang teguh pada janjinya, maka Putri Serindang Bulan ingin segera datang ke negeri anaknya. Sebetulnya Tuanku Raja Alam berat hati jikalau isterinya itu bepergian jauh. Akan tetapi, karena sudah berpegang janji, maka sang raja tak dapat menahannya.
Pada hari yang baik, maka berpamitlah Putri Serindang Bulan kepada sang raja. Atas kebijaksanaan sang raja, Putri Serindang Bulan dikawal oleh segenap hulubalang dan anak buah secukupnya. Segala bekal untuk perjalanan telah dipersiapkan. Demikian juga dengan beberapa tabung bambu berisi emas sebagai hadiah dari raja Indrapura. Maka segeralah rombongan Putri Serindang Bulan itu berangkat meninggalkan negeri Indrapura menuju Muara Ketahun.
Konon kisah selanjutnya, sampailah Putri Serindang Bulan di sebuah pantai. Terlihat oleh Putri Serindang Bulan, ada sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pantai itu yang berbentuk seperti muka orang. Oleh karena pohon tersebut seperti muka orang, Putri Serindang Bulan segera menyebut tempat itu dengan nama Muko-Muko. Sebelum Putri Serindang Bulan melanjutkan perjalanannya, disuruhlah anak buahnya untuk mencari sebuah sungai untuk membersihkan muka dan badannya. Kemudian ditunjukkanlah sebuah sungai yang ternyata airnya amat sedikit. Melihat air sungai yang amat sedikit itu, maka sungai itu di beri nama Sungai Air Dikit.
Perjalanan segera dilanjutkan. Setelah menempuh perjalanan yang amat berliku dan banyak rintangan, sampailah rombongan Putri Serindang Bulan di wilayah Ketahun. Putri Serindang Bulan amat terkejut ketika memasuki sebuah dusun. Ternyata kedatangannya telah lama dinanti-nantikan oleh penduduk dusun itu. Oleh Putri Serindang Bulan, dusun itu kemudian diberi nama Dusun Suka Menanti.
Setibanya di Muara Dua, Putri Serindang Bulan segera disambut dengan suka cita oleh Raja Bendar Panglimo Koto. Setelah dapat bertemu kembali, ibu dan anak itupun segera melepas kerinduannya. Konon ceritanya, Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di Muara Dua, karena ingin mengenang kembali kisahnya. Putri Serindang Bulan juga mengunjungi tempat-tempat yang pernah dilaluinya. Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di negeri anaknya, dan masih belum ingin kembali ke Indrapura. Tiba-tiba timbul perasaan rindu kepada kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya. Oleh sebab itulah, maka segeralah Putri Serindang Bulan pergi mengunjungi kedua orang tuanya serta keenam kakaknya.
Terhadap kakaknya yang keenam, yaitu Karang Nio, Putri Serindang Bulan banyak menyimpan kenangan tersendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak dapat melupakan kebaikan hati kakak keenamnya.
Suatu hari, Putri Serindang Bulan pernah mengirimkan berbagai macam hadiah kepada anak-anaknya Karang Nio. Anak-anak Karang Nio pun menerimanya dengan suka cita. Bahkan Putri Serindang Bulan sering datang berkunjung ke tempat tinggal Karang Nio di Muara Aman.

Diceritakan kembali oleh :
Agus Setiyanto Z

Admin :
Kisah ini adalah pengembangan dari sejarah asal usul suku bangsa rejang. Cerita Putri Serindang Bulan banyak di ceritakan dalam tambo rejang, yang dipercaya dahulu benar-benar terjadi.

Back Link :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/02/putri-serindang-bulan.html

Friday, February 20, 2009

Asal Mula Nama Desa Du Atei - Desa Rindu Hati Taba Penanjung, Tanah Rejang, Bengkulu Tengah

Posted by Yayux at 12:47 AM 0 comments
Konon katanya di Desa Rindu Hati ini adalah keturunan para raja dari Raja Sungai Serut. Awal dari semua ini karena Putri Dayang Perindu melarikan diri dari Muara Bengkulu ke Hulu Sungai (yang berada di Desa Rindu Hati saat ini). Sang Putri melarikan diri karena tidak mau dijodohkan dengan para raja yang berasal dari Aceh. Setelah melarikan diri, sang kakak dan beberapa orang kerajaan menyusul keberadaan putri ke hulu sungai. Sebelum menyusul sang putri, sang putri sempat memberikan pesan yaitu “jika ingin menyusulnya, bawalah satu ekor ayam dan satu ekor burung terkukur. Jika ayam dan burung tersebut berbunyi, berhentilah disitu dan buatlah desa. Saya akan tinggal disitu”. Ayam dan burung tersebut berbunyi ketika mereka sampai dilokasi Desa Rindu Hati sekarang. Disitulah mereka membuat desa. Dan Itulah awal mula Desa Rindu Hati.
Alur kisah asal mula desa du atei (baca duwatei = rindu hati) ini juga cocok dengan kisah yang di tulis pada litelatur- litelatur lama yang mencatat tambo dan sejarah Bangkahoeloe. Selain itu masih banyak dijumpai penduduk asli dengan nama depan Sutan.



Di desa ini kita bisa menikmati jernihnya air sungai yang mengalir dengan tenang. Seakan air ini sangat senang berada di desa tersebut. Pagi yang cerah saat itu. Suara burung yang ribut membuat suasana pagi ini serasa lengkap. Masyarakat desa sudah mulai satu persatu berangkat ke ladang dan ke sawah yang berada tak jauh dari desa. Menyebrangi sungai yang ada dibelakang desa. Berjalan kaki tanpa alas kaki mengikuti jalan setapak yang berada disepanjang sungai. Terlihat sekali mereka hidup sangat harmonis dengan air sungai yang ada disana.

Di Desa Rindu Hati yang mayoritas penduduknya adalah Suku Rejang ini terdapat 6 anak sungai dan mungkin puluhan atau ratusan mata air. Anak-anak sungai yang ada ini akhir menyatu ke sungai besar yang ada di hulu kampung, yaitu Sungai Bengkulu.

Berada didesa Rindu Hati memang sangat menyenangkan. Selain suasana kampung yang masih asli juga terdapat sawah yang menghijau dengan dilatar belakangi oleh bukit-bukit. Desa ini memang berada di lembah didataran tinggi Bengkulu.

Namun kini, desa yang sangat indah dan khas sekali nuansa alaminya itu berubah. Desa ini mengalami ancaman kerusakan lingkungan. Pembabatan hutan sekitar, pembangunan rumah rumah batu permanen oleh penduduk yang sedang marak, tanpa memikirkan tata letak lingkungan,pengrusakan DAS (daerah aliran sungai) dengan alasan kemajuan dan modernnya zaman benar benar satu alasan yang gak bisa di terima. Dan kini penduduk mulai menuai dampak kerusakan lingkungannya. Desa yang dahulunya tak pernah banjir, kini kerab kali menerima banjir kiriman saat musim hujan tiba.

Kerinduan anak rantau saat pulang ke desa ini hanya bisa menyesali, karena gak tahu siapa yang bertanggung jawab mengatur semua ini di desa. Apakah pemda setempat berperan atau merestui pengrusakan lingkungan perlahan lahan di hulu sungai ini?

Kini sejak terbentuknya kabupaten baru yaitu Bengkulu Tengah, mau tak mau desa rindu hati masuk ke wilayah kapubaten baru ini lepas dari kabupaten semula yaitu Bengkulu Utara. Apakah nasib desa Rindu Hati yang sarat dengan makna sejarah Kerajaan sungai serut di masa lalu di biarkan hilang begitu saja? Apalagi di desa ini ada Situs Makam yang di keramatkan oleh masyarakat setempat yang kemungkinan besar berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut di masa lalu.

Sementara pejabat kabupaten Bengkulu Tengah masih carut marut berebut kekuasaan. Dan kini nasib Tanah Rejang semakin mengenaskan !


Monday, February 9, 2009

Putri Sedaro Putih - Asal Mula Pohon Enau

Posted by Yayux at 7:34 PM 0 comments
Read this Folk tale in English Link

Pohon Sedaro Putih atau di kenal dengan Pohon Enau di desa Sindang Jati, Tanah Rejang

Oleh : Tun Jang
Cerita rakyat : Suku Rejang

(Bengkulu, Sumatera bagian Selatan)

Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara.Nasib mereka sungguh malang,mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah yang perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat disayangi keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan sekuat tenaga.

Pada suatu malam,ketika putri sedoro putih tidur,ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan penuh penasaran.
"Benar,dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada pada massa ini.Pohon itu akan banyak memberi manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu , lenyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari tidurnya.Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.

Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati ? Jangan sampai terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah .

Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan semua mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar, bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.

Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan. Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.

Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh dari rumah kediaman mereka.

Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.

Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon pelindung .

Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.

Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke kuburan itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi meninggalkan tempat itu.

Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis. Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka.

Lalu mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong dan airnya yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri sedaro putih.

Tikoa tabung yang di buat dari seruas bambu

Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin. Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung bambu pun digantungkan disana.

Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk di tanah rejang

Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh dari pohon Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil.

Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka, karena air sadapan itu akan masam jika disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras membeku dan berwarna kekuningan.

Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang dimasak sampai mengental dan membeku disebut gula merah.

*****

Keterangan :
Pohon enau atau pohon aren termasuk pohon yang banyak jasanya bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memuliakannya banyak versi lain kisah legenda yang berkembang di nusantara tentang asal mula pohon enau ini, salah satunya Putri Sedaro Putih yang berasal dari cerita rakyat suku Rejang. Daerah kediaman suku Rejang saat ini mayoritas wilayahnya masuk propinsi Bengkulu meskipun beberapa daerahnya yang lain masuk Propinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi.

Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :
1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat manisan yang lezat atau campuran kolak.
2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki, atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.
3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan se
nik (tempat meletakkan kuali atau periuk)

Disadur dari :
  1. Arsip Blog Tanah Rejang : http://rejang-lebong.blogspot.com
  2. Cerita lisan Bapak M. Halimi Habib, lahir di Curup 28 Juli 1942, pernah menjadi guru SMPN 1 Curup (1968-1975)
  3. Cerita rakyat dari Bengkulu, Jakarta Grasindo 1993
  4. http://www.zonamobile.net/forums/index.php?action=viewtpc,6565&sid=AQk0IWRiXLY&page=87
  5. Credit photo oleh author Curup Kami dari desa Sindang Jati


Sunday, February 8, 2009

Nantu Kesumo - Legenda Bangka Hulu - Asal Usul Nama Bengkulu

Posted by Yayux at 3:04 AM 0 comments
Oleh Tun Jang

Konon orang yang pertama-tama menghuni Bengkulu ialah Nantu Kesumo dan kawan-kawannya. Ia datang dari Demak di pulau Jawa. Ia memasuki daerah Bengkulu lewat pantai (pasar Bengkulu sekarang).

Di tanah yang baru ini, Nantu Kesumo dan kawan-kawannya menghadapi tantangan yang sangat berat. Tanah Bengkulu masih merupakan hutan belantara. Binatang-binatang buas dan liar masih hidup dengan bebas namun Nantu Kesumo mempunyai kesaktian dan ilmu yang tinggi. Ia tidak takut pada binatang-binatang buas itu.

Konon pada waktu Nantu Kesumo dan kawan-kawannya sedang membuka hutan untuk membangun kampung, mereka bertemu dengan ular yang sangat besar. Ular itu dapat mereka bunuh. Badan ular yang panjang itu dipotong menjaditiga bagian sama panjang. Ketiga bagian tubuh ular itu masing-masing menjelma menjadi meriam sapu ranjau, tombak bejabai, dan tabu berantai. Untuk memperingati kisah ini, tiap-tiap mengadakan pesta perkawinan dengan memotong kerbau mesti ada tombak berambu payung kering.

Kampung yang dibangun pertamakali itu bernama Tanah Tinggi. Suatu hari penduduk kampung Tanah Tinggi itu melihat batang bangka hanyut ke hulu. Batang bangka itu sebangsa pohon pinang. Pohon bangka itu sangat aneh, bentuknya melingkar lingkar, mulai dari pangkal sampai ke ujungnya. Keanehan pohon ini mengundang penduduk Tanah Tinggi untuk menyaksikannya.

Dari kejadian inilah penduduk Tanah Tinggi menamakan tanah kediaman mereka dengan Bangka Hulu, yang berasal dari kata bangka dan hulu. Sejak saat itulah nama Bengkulu dipakai orang.

Alkisah diceritakan bahwa Nantu Kesumo datang ke Bengkulu dalam keadaan bujangan. Ia datang bersama saudaranya bernama Kayu Mentiring. Kepada saudaranya inilah dia meminta nasehat dan pertimbangan.

Sebagai manusia biasa yang normal, Nantu Kesumo tidak tahan hidup membujang terus.

Akan tetapi dia tidak mau kawin dengan wanita biasa. Wanita yang menjadi idamannya adalah Ratu Aceh. Kecantikan Ratu Aceh sudah terkenal ke mana-mana, karena itulah Nantu Kesumo bermaksud menjadikannya sebagai istri. Ia akan pergi ke Negeri Aceh untuk melamar.

Sebelum berangkat ke negeri Aceh ia mengutarakan niatnya itu kepada Kayu Mentiring, "Saudaraku Kayu Mentiring, saya berniat pergi ke negeri Aceh, dengan maksud untuk melamar Ratu Aceh. Doakanlah agar maksud saya berhasil", kata Nantu Kesumo.

"Ingat Nantu Kesumo anatara kita dan negeri Aceh selalu bermusuhan, lamaranmu mustahil diterima", kata Kayu Mentiring.

Niat Nantu Kesumo untuk memperistri Ratu Aceh sudah nekat, oleh karena itu saudaranya terpaksa menyetujui seraya katanya, "Kalau demikian maumu, saya akan membantumu. Apapun yang terjadi kita hadapi bersama".

Alkisah, berangkatlah Nantu Kesumo seorang diri dengan perahu yang bernama Rejung Kelam.

Setelah kurang lebih sebulan berlayar sampailah ia ke tepi pantai tempat pemandian Raja Aceh. tempat ini selalu dijaga oleh hulubalang raja, dengan senjata meriam yang diarahkan ke laut untuk menembak musuh.

Perahu Nantu Kesumo dapat dilihat oleh hulubalang raja, penjaga pemandian. Mereka menembakkan meriam kearah perahu Nantu Kesumo. Tak satupun peluru meriam mengenai Nantu Kesumo. Ia tidak tembus oleh peluru. Penjaga pemandian lari ketakutan. Nantu Kesumopun mendarat dan masuk ke negeri Kerajaan Aceh.

Alkisah pada waktu itu kerajaan Aceh sedang merayakan pertunangan Ratu Aceh. Salah satu acaranya adalah mengadakan gelanggang pertaruhan selama tiga bulan. Barang siapa yang akan mengikuti pertaruhan harus minta izin kepada kakak Putri Aceh bernama Raden Cili. Sesudah mendapat izin, calon peserta harus menyerahkan dua peti uang kepada Putri Aceh. Satu peti berbentuk panjang, satu lagi berbentuk pendek. Nantu Kesumo menggunakan kesempatan ini untuk bertemu muka dengan idaman hatinya Ratu Aceh.

Ia izinkan mengikuti pertaruhan. Ia pun menyerahkan dua peti uang kepada Putri Aceh. Pasa saat itulah ia bertemu muka dengan Putri Aceh, untuk pertama kalinya yang membuat keduanya saling jatuh cinta. Hubungan cinta ini tidak disetujui Raden Cili.

Nantu Kesumopun masuk ke gelanggang pertaruhan. Ia mengikuti pertaruhan permainan Gelincing Jae, yaitu sebuah permainan yang mempergunakan uang sen sebanyak dua keping yang diempaskan diatas batu. dalam permainan ini Nantu Kesumo kalah meraub, menang meraub.

Terjadilah keributan di tengah gelanggang. Permainan Gemincing Jae dihentikan, digantikan dengan pertaruhan menyabung ayam. Ayam Nantu Kesumo selalu menang, tak pernah sekalipun mengalami kekalahan. Hal ini dilaporkan panitia pertaruhan ke Raden Cili. Ia memerintahkan prajurit kerajaan menangkap Nantu Kesumo. Hal ini diketahui oleh Nantu Kesumo, iapun membuat keributan dengan memukul canang dari tempurung. Bunyi tempurung itu sebagai tanda naiknya harga beras. Tanda ini menimbulkan kemarahan kepada peserta pertaruhan yang kalah. Jumlah yang kalah sangat besar. Terjadilah keributan besar yang hebat. Banyak korban berjatuhan.

Konon dari Bengkulu telah diutus pemuda untuk menjemput Nantu Kesumo. Pemuda itu berbaju kuning. Perjalanan memerlukan waktu yang panjang, sedang persediaan makanan terbatas. Ia kehabisan makanan di tengah perjalanan, oleh karena itu ia singgah mendarat dan mendapatkan kebun pisang. Kebun ini milik seorang nenek tua. Oleh nenek tua itu ia dipersilakan makan pisang sepuas puasnya, sampai ia tidak bisa berjalan, karena kekenyangan, akibatnya tidak sampai ketempat tujuan.

Sementara itu keributan di Aceh berlangsung terus, Nantu Kesumo terluka di lambung tunggai, dan luka luka di ujung kuku (mungkin maksudnya tidak seberapa). Raden Cili dan pasukan tentaranya tidak dapat menangkap Nantu Kesumo.

Raden Cili dan tentaranya berusaha menghentikan keributan dan kekacauan itu. Dalam keadaan kacau itu Nantu Kesumo memanfaatkan kesempatan yang baik itu untuk menenui Ratu Aceh untuk membawanya lari ke Bengkulu. Dibawalah Ratu Aceh ke luar istana kerajaan. Pada malam harinya mereka menuju pantai untuk selanjutnya berlayar menuju Bengkulu. Perahu yang digunakan adalah tetap perahu Rejung Kelam. Kedua insan itu pura pura gembira dan bahagia. Nantu Kesumo gembira karena maksudnya tercapai, membawa pulang Ratu Aceh. Sedang Ratu Aceh gembira karena ia dapat bebas dari kungkungan adat kerajaan, bebas menikmati keindahan alam.

Setelah kurang lebih satu bulan berlayar sampilah mereka ke tanah harapan yaitu Bengkulu. Kedatangannya disambut dengan kegembiraan oleh saudaranya Kayu Mentiring dan semua penduduk di desanya. Upacara pernikahanpun diadakan dengan sederhana.

Sementara itu di Negeri Aceh setelah keributan dan kekacauan dapat diatasi, Raja marah kepada Raden Cili dan semua pasukannya. Raja memerintahkan kepada Raden Cili memimpin pasukan untuk menyerang Bengkulu dan mengambil Ratu Aceh. Pasukan disiapkan dengan perlengkapan dan persenjataan yang cukup dan lengkap, serta persediaan makanan yang banyak.

Nantu Kesumo sudah menduga bahwa Raja ACeh pasti akan menyusul putrinya. Karena itu sebelum mereka datang ke Bengkulu, ia dan saudaranya Kayu Mentiring memerintahkan kepada semua penduduk untuk siap-siaga menghadapi segala kemungkinan akibat serangan pasukan Raja Aceh. Benteng-benteng dibangun dan persenjataan dilengkapi, persediaan makananpun diperbanyak.

Alkisah maka datnglah pasukan Raja Aceh yang dipimpin oleh Raden Cili sendiri. Pertempuranpun terjadi antara kedua pasukan itu. Tempat terjadinya pertempuran di suatu tempat yang sekarang bernama Bukit Aceh, terletak di bagian utara kotamadya Bengkulu.

Pasukan Aceh banyak yang tewas dalam pertempuran. Mayat-mayatnya tidak sempat dikuburkan, hingga menimbulkan bau yang sangat busuk. Pasukan Nantu Kesumo tidak tahan jika terus-menerus tercium bau yang sangat busuk itu. Merekapun minta ke Nantu Kesumo untuk menjauhi tempat itu. Nantu Kesumo menyetujui dan tempat yang dipilih adalah Gunung Bungkuk. Menurut cerita orang di Gunung Bungkuk masih terdapat perahu Rejung Kelam yang sudah membatu.

Tidak lama setelah pindah sementara ke Gunung Bungkuk, Kayu Mentiring meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang anak yang bernama Bintang Roano, konon menurut cerita Bintang Roano meninggal di Bengkulu dan jenazahnya dimakamkan di daerah yang sekarang bernama Pasar Anggut. Sedangkan Nantu Kesumo sempat kembali lagi ke tempat semula, yaitu Bengkulu, setelah bau mayat hilang. Nantu Kesumo dan Ratu Aceh hidup rukun dan bahagia, tetapi sayang tidak mempunyai anak.

Sumber:
Http://rejang-lebong.blogspot.com
Ditulis ulang oleh Tunjang
Informan lisan M. Kasin, Petani Desa Suka Merindu, Kotamadya Bengkulu
Data proyek pencatatan kebudayaan daerah 1980


 

Millenium Fashion of World Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by FashionFashionFashion